Dari luar tempat itu terlihat seperti gua batu biasa. Dengan mulut yang menganga lebar dan dinding batu yang berlumut dan lembab.
Letaknya yang berada jauh di dalam hutan menjadikannya terlihat gelap dan angker. Tak seorang pun yang kebetulan melintas di hutan dan melihatnya berani mampir apa lagi memasukinya.
Gua itu sudah nampak wingit dan akan terasa menyeramkan bila berada di dekatnya. Hawa lembab nan dingin serta bau lumut membuat bulu kuduk meremang. Matahari tak pernah berhasil meneranginya lebih dari lima langkah dari mulut gua.
Namun perempuan itu seolah tak terpengaruh oleh keangkerannya. Ia melangkah memasuki gua itu seolah memasuki rumah yang lama ditinggalkan dan dirindukan. Langkahnya tergesa.
Kegelapan dan hawa lembab di dalam gua segera menyergapnya. Dengan percaya diri ia masuk makin dalam hingga menemui jalan bercabang. Ia memegang sebilah keris kecil yang bercahaya sehingga tak kesulitan melangkah di tengah kegelapan gua.
Perempuan itu berbelok ke kiri. Sejauh sepuluh langkah ia menemukan undakan menurun yang tajam. Di ujung bawah undakan itu terdapat pintu batu yang tebal dan dingin. Ia berhenti di depannya. Mulutnya bergerak komat-kamit merapalkan mantra. Dan kemudian pintu batu bergeser perlahan.
Ia memasuki ruangan yang cukup lebar. Ada beberapa obor tertancap di dinding dengan lidah api merah yang menjilat-jilat udara.
"Candrika, dimana kau?"
Teriakannya menggema ke seluruh ruangan hingga ujung lorong di sebelah kanan.
"Candrikaaa....."
Tak mendapat sahutan ia pun bergerak ke lorong satu-satunya di ruangan itu. Menelusurinya hingga ujung. Lorong yang temaram berujung pada ruangan yang lebar dan terang. Juga tertata indah mirip istana atau setidaknya kamar pribadi seorang bangsawan.
Tak seorang pun menampakkan diri di sana. Ruangan itu sunyi hingga bunyi sehalus apapun pasti terdengar. Perempuan itu menajamkan mata dan telinga mencari seseorang bernama Candrika. Ia bergerak perlahan melongok bagian lain ruangan. Suara desisan ular mengganggunya.
Alih-alih takut ia justru mencari-cari keberadaan binatang melata itu. Tiap sudut dijelajahi dengan mata indahnya yang cemerlang. Dan ia menangkap sumber suara. Ular hitam dengan gelang-gelang kuning di sepanjang tubuhnya. Bukan seekor, namun dua ekor. Saling membelit dan bergerak perlahan berirama seiring desisan yang membuat bulu kuduk meremang.
Perempuan itu melotot. Memandang jijik pada kedua ular yang tengah bersenggama di depan matanya. Keduanya terbuai kenikmatan hingga tak menyadari ada makhluk lain di ruangan itu.
Kembali perempuan cantik itu berteriak. "CANDRIKA!!!"
Seketika gerakan ular itu berhenti dan perlahan saling melepas lilitan. Kepalanya tegak ke arah perempuan itu memperlihatkan amarah karena merasa terganggu. Salah satu dari ular welang itu melorotkan tubuhnya ke tanah.
"Pergilah kau." Perempuan itu berkata dan ular yang sudah menjatuhkan diri ke tanah itu merayap pergi.
Ular yang satu lagi menegang dan menyerang perempuan itu sambil menyemburkan wisanya yang mematikan. Perempuan itu berkelit lincah ke dinding sebelah kiri.
"Diam di tempatmu, Candrika." Marah perempuan cantik itu. Ditatapnya ular welang itu dengan pandangan menusuk.
Tubuh ular itu masih tegang bahkan saat berubah menjadi wanita cantik berbaju hitam. Pinggangnya terlilit selendang emas yang berkilauan. Wajahnya agak pucat dengan manik mata yang kecil dan tajam.
Ia mendengus tak suka. "Ada apa kau datang menggangguku, Mahesi?" Suaranya yang kecil melengking menebar aura permusuhan.
Perempuan yang dipanggil Mahesi tampak murka. "Mau apa kau keluyuran sampai Puranggahu, hah? Mau cari perkara?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...