Bab XXX

2.1K 219 5
                                    

Jayantaka dan Ranggadewa berangkat ke perbatasan bersama pasukan sejumlah seratus orang. Kuda mereka berderap keluar gapura selatan dengan suara gemuruh. Debu sisa musim kemarau mengepul di belakang mereka.

Di hari yang sama Ragawa mulai menyiapkan para prajuritnya sesuai perintah rajanya. Ia membahas gelar perang yang akan mereka gunakan menghadapi pasukan musuh.

Perjalanan menuju perbatasan memakan waktu dua hari dua malam. Mereka mencapai wilayah tepi kerajaan pada malam ketiga. Senja telah surut meninggalkan semburat merah di langit barat.

Kedua putra Jnanashiwa yang memimpin pasukan berada di baris paling depan menarik tali kekang kuda mereka bersamaan. Diikuti oleh pasukan mereka. Suara ringkik kuda riuh terdengar.

"Berhenti di sini!" Teriak Jayantaka memberi perintah seraya mengangkat tangan kanannya. Ia menunggu hingga riuh ringkik kuda pasukannya surut. "Kita sudah sampai perbatasan. Buat kemah secepatnya agar kita bisa cepat istirahat."

Perintah sang pangeran segera mereka laksanakan. Beberapa prajurit menurunkan perbekalan dan segera membuat kemah. Yang pertama mereka buat tentu saja kemah untuk pimpinan mereka. Begitu selesai mereka mempersilakan kedua pangeran berehat lalu melanjutkan membuat kemah untuk mereka sendiri.

Ranggadewa segera memasuki kemahnya dan menyambar kendi yang disediakan prajuritnya di sudut. Ia menenggak isinya hingga tandas dalam sekejap.

"Kau terlihat lelah." Ranggadewa menoleh seketika pada Jayantaka yang sudah berdiri di pintu kemahnya. Ia menyeka dagunya yang basah oleh air minumnya. Jayantaka menghampirinya. "Aku akan menyusup ke Kambangan malam ini. Kau ikut?"

Dipandangnya sang kakak seraya meletakkan kendi yang kosong. "Malam ini?" Tanyanya diangguki Jayantaka dengan yakin. "Kau tidak lelah?"

"Aku tak ingin membuang waktu. Lebih cepat lebih baik."

Sejenak Ranggadewa ragu. Ia ingin sekali tidur setelah dua malam terlewat di atas punggung kuda. Namun ajakan itu juga menggoda jiwanya. "Baiklah. Aku ikut."

Keduanya lantas keluar kemah. Menyandang pedang di pinggang dan menyelinap ke tempat kuda. Hanya dua orang prajurit yang mengetahui kepergian mereka. Kuda mereka tuntun hingga ke pedalaman hutan sebelum mereka tunggangi untuk mempercepat perjalanan menuju wilayah inti Kambangan Petak.

Hari hampir pagi ketika mereka sampai di alun-alun. Suasana masih begitu sepi dan gelap. Dingin menggigit tulang. Tempat ini memang berada di tempat yang tinggi. Angin gunung menghajar tubuh mereka tanpa ampun.

"Tidak ada apapun yang mencurigakan." Ranggadewa berkata setelah beberapa lama mereka mengamati keadaan dari atas pohon tak jauh dari pintu gerbang.

"Kita tunggu sebentar lagi," sahut Jayantaka tanpa mengalihkan pandang dari sekitar alun-alun yang sunyi dan berkabut.

Pagi merekah perlahan. Semua yang bernyawa mulai menggeliat bangun. Burung-burung sudah berisik di sekitar mereka. Prajurit Kambangan mulai menampakkan diri di alun-alun.

Mereka berkumpul dalam jumlah yang begitu banyak. Terdiri atas dua kelompok dengan pimpinan masing-masing. Dari kejauhan seseorang dengan pakaian bagus muncul di depan barisan para prajurit.

"Itu raja Kambangan Petak?" tanya Ranggadewa.

"Ya." Jawab Jayantaka sambil lalu. Matanya menatap raja Kundatta tanpa berkedip. Sayup-sayup suara raja Kambangan Petak itu terdengar dari kejauhan.

"Jumlah mereka banyak sekali."

Jayantaka hanya diam tak menanggapi. Ia memperhatikan Kundatta yang tengah membakar semangat para prajuritnya. Telinganya ditajamkan untuk menangkap informasi penting yang mungkin berguna nantinya.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang