Bab VI

4K 382 2
                                    

Prasasti memacu kudanya seperti kerasukan setan. Ia mengutuki dirinya yang entah kenapa terlambat bangun. Hari sudah tinggi ketika ia membuka mata. Cepat-cepat dia berkemas dan keluar mengambil kuda yang ia tambatkan di halaman pondoknya semalam lalu tanpa pamit pergi menuju Purana.

Tadi ia tak melihat Resi Gaharu dan seorang muridnya mengatakan bahwa beliau pergi dari pagi tadi setelah mengantar kedua pemuda yang datang semalam hingga pintu gapura pesanggrahan. Karenanya Prasasti langsung berderap keluar bersama kuda kesayangannya. Ia tak ingin terlambat. Ia tak boleh terlambat untuk menyelamatkan orang-orang yang dicintainya.

Kalau tak salah dengar tadi malam pemuda bernama Purnala itu akan pergi ke Purana hari ini. Entah untuk tujuan apa Prasasti tak begitu yakin. Ia hanya tahu pemuda itu seorang buronan pihak istana dan meminta perlindungan kepada ayahnya. Sekarang ia harus mengejar Purnala sebelum sampai kutaraja. Jika Prasasti tak berhenti ia akan tiba di sana saat senja atau ketika malam belum terlalu larut. Mudah-mudahan ia sempat. Begitu harapnya penuh tekad.

Ia percaya pada kudanya. Hewan itu sangat kuat dan punya daya tahan yang luar biasa. Dan seperti tahu keinginan tuannya, kuda itu berhasil sampai di kutaraja ketika matahari sudah hampir jatuh tertelan cakrawala. Suasana temaram di sekitar Purana. Atap istana terlihat di kejauhan. Prasasti menarik tali kekang kudanya dan berhenti tak jauh dari gapura kedaton.

Sejauh ini ia tak dapat menemui jejak Purnala. Apakah dia sudah sampai di kutaraja atau dia berhenti di satu tempat di perjalanan tadi. Prasasti tiba-tiba merasa bodoh. Baru ia sadar sekarang ia tak tahu kemana tujuan pemuda itu sebenarnya. Dia mengatakan pada ayahnya akan pergi ke Purana. Itu saja. Tapi kemana? Ke istanakah? Lalu untuk apa dia ke istana? Mungkinkah dia bermaksud menyerahkan diri pada raja dengan resiko akan dihukum mati oleh raja kejam itu? Dan jika itu benar, untuk apa dia menyempatkan diri datang ke pesanggrahan dan minta perlindungan ayahnya?

Prasasti memikirkan semuanya hingga tak menyadari suasana mulai gelap di sekitarnya. Obor-obor di depan gapura sudah mulai dinyalakan. Ia sudah turun dari kudanya, membiarkan hewan itu tak ditambatkan dan memakan rumput yang sudah mulai kering oleh musim kemarau.

Gapura kedaton dijaga oleh empat prajurit di masing-masing sisi. Di beberapa titik sekeliling istana juga dijaga prajurit bersenjata tombak dan pedang. Tentu tidak mungkin masuk ke dalam sana dengan mudah. Penjaga itu pasti akan menanyai tujuannya datang ke istana malam hari begini. Jawaban apa yang akan ia berikan? Bahwa ia mencari seseorang? Tidak. Itu justru akan membuat mereka curiga. Lalu bagaimana memastikan pemuda itu datang kesana ataukah tidak? Pada siapa ia akan bertanya? Prasasti memutar otak dan merasa jengkel karena tak menemukan jawaban apapun.

Gadis itu mondar-mandir di dekat kudanya yang tak peduli kegelisahannya. Sesekali ia melempar pandang ke arah gapura menimbang-nimbang apakah akan masuk kesana atau tidak. Dia berhenti mondar-mandir dan menatap gapura yang hanya lima puluh depa di depannya. Pikirannya agak kacau hingga ia terlonjak kaget ketika ada yang menyentuh bahunya.

"Prasasti, sedang apa kau disini?"

Ia terkejut oleh sentuhan di bahunya tapi suara lembut yang menggema di telinganya seperti angin semilir yang menerpanya. Ia berbalik ke arah pemilik suara.

Seorang perempuan bercadar berdiri di depannya. Sedikit lebih tinggi dari Prasasti. Rambutnya sebagian disanggul ke atas, sisanya tergerai indah hingga ke pinggangnya. Wajahnya tertutup cadar warna biru seperti pakaiannya. Hanya matanya yang terlihat, dihiasi bulu mata yang lentik. Bulan yang baru muncul menimpakan sinarnya ke sisi wajah perempuan itu. Membuatnya terlihat seperti bidadari dari kahyangan.

"Dewi...."

Prasasti tak tahu nama perempuan itu. Sejak pertama kali bertemu dia hanya ingin dipanggil 'dewi' saja. Perempuan cantik itu adalah gurunya.

"Sedang apa kau di sini?" Dewi mengulangi pertanyaannya demi dilihatnya Prasasti mulai tersadar dari keterkejutannya dan nampak sedikit kebingungan.

"Saya....mencari seseorang." Jawabannya membuat sang Dewi penasaran.

"Siapa?"

Masih tampak tak yakin, Prasasti mengatakan kalau ia mencari Purnala. "Kupikir dia pergi ke istana karena dia mengatakan akan ke Purana."

Lalu Prasasti bercerita singkat tentang kedatangan pemuda itu ke pesanggrahan ayahnya tadi malam.

"Apakah dia pemuda yang memanah putra raja?" Prasasti mengiyakan. "Kau terlambat. Pemuda itu sekarang sudah ada dalam pakunjaran."

Kembali Prasasti terkejut. Anak matanya melebar. Sejurus kemudian bahunya merosot lemas.

Sang Dewi jadi heran. "Kenapa?"

"Paman Gaharu dalam bahaya."

*****

Akhirnya Jayantaka sadar setelah empat hari pingsan dan terbujur lemah di peraduannya. Dia membuka mata dan langsung disergap rasa sakit di seluruh tubuhnya. Seorang dayang istana yang bertugas menjaganya terpekik melihat tuannya bergerak membuka mata dan buru-buru keluar memberitahu pengawal untuk melapor pada sang prabu.

Jnanashiwa datang dengan langkah lebarnya yang tergesa diiringi patih Ragawa masuk ke kamar Jayantaka. Ada kelegaan di matanya yang tajam. Sekejam apapun Jnanashiwa di mata orang lain, ia tetaplah seorang ayah yang merasa khawatir akan putranya yang berada di ambang maut beberapa hari belakangan. Selama Jayantaka belum sadar ia tak pernah bisa merasa lega. Ia tak tahu kapan putranya itu akan siuman. Apakah nyawanya akan bertahan ataukah melayang. Sungguh ia tak membayangkan jika panah sialan itu akan merenggut nyawa putranya. Dan sekarang melihat putranya telah sadar Jnanashiwa pun diam-diam bersyukur. Dia gembira walaupun ia sepertinya tak tahu cara menunjukkannya. Dia tetaplah raja yang dingin dan kaku bahkan di saat harusnya dia merasa bahagia. Ragawa pun terlihat gembira dengan senyum hangatnya. Ia mengangguk pada Jayantaka.

Jayantaka mengerang. "Ayahanda."

"Jangan duduk dulu. Kau baru sadar," kata Jnanashiwa ketika Jayantaka meringis kesakitan berusaha bangun. Ia pun kembali berbaring. "Para prajurit belum menemukan orang yang memanahmu."

Mata Jayantaka langsung berkilat. "Ayahanda mencarinya?" Nadanya yang sedikit khawatir bahkan tak dipedulikan Jnanashiwa. Atau mungkin memang tak diperhatikan sama sekali?

Justru Ragawa yang dapat merasakannya. Tangan kanan Jnanashiwa itu menatap Jayantaka mencari tahu apa yang ada di pikiran pangeran itu melalui matanya.

"Tentu saja. Dan jika mereka berhasil menemukannya aku akan memberi mereka hadiah yang besar." Jnanshiwa berkata dengan ambisius.

Sekarang Ragawa makin jelas melihat raut wajah Jayantaka yang khawatir. Juga panik.

"Dan orang itu, maksud saya orang yang...."

"Dia akan mendapat ganjaran yang setimpal." Sergah Jnanashiwa bahkan sebelum putranya selesai bicara.

Jayantaka memandang ayahnya tak berdaya. Ia sangat mengenal ayahnya yang tak segan membunuh orang tak bersalah sekalipun jika memang tak disukainya. Ia merasa lukanya jadi lebih sakit. Jayantaka memejamkan mata dan seorang prajurit datang melapor.

"Ampun Gusti Prabu, ada orang ingin menghadap. Dia sudah di balairung istana sekarang." Prajurit itu berkata sambil menyembah.

Jnanashiwa menggeram. Mendengus tidak suka. "Siapa? Apa dia seorang caraka?"

"Bukan, Gusti."

Jnanashiwa bangkit dari duduknya. "Kau tetap disini, Ragawa. Aku akan ke balairung."

Ragawa mengangguk pasti. "Baik, Gusti Prabu."

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang