Dua prajurit bersenjata tombak panjang yang menjaga gapura selatan bergegas membuka pintu gerbang nan tinggi dan lebar begitu melihat kedua putra raja Jnanashiwa mendekat bersama kuda-kuda mereka yang gagah perkasa.
Kuda hitam milik Ranggadewa dan kuda putih kesayangan Jayantaka berderap sejajar memasuki alun-alun kedaton Purana. Prajurit penjaga gapura menunduk hormat saat kedua pangeran itu melewati mereka.
Ranggadewa menarik tali kekang kudanya di tengah alun-alun memerintahkan tunggangannya untuk melambat. Jayantaka mengikuti tindakan adiknya dengan rasa heran.
"Ada apa, Ranggadewa?"
"Aneh. Kenapa ada petir di pagi hari yang cerah begini?"
"Petir?" Ulang Jayantaka makin heran.
"Kau tak melihatnya?" Ranggadewa menoleh pada Jayantaka. "Sepertinya petir itu membelah langit di atas keputren."
Jayantaka mengalihkan pandang ke arah yang disebut. Di atas keputren langit biru dengan lembaran tipis mega menggantung ringan. Surya yang keemasan berkilau sempurna. Dan jika ada petir di sana, rasanya sangat mustahil.
"Kau pasti bercanda."
"Tidak." Sahut Ranggadewa yakin. "Aku memang melihatnya tadi. Hanya sebentar saja. Amat terang membelah langit."
Bagi Jayantaka apa yang dikatakan Ranggadewa sungguh tak masuk akal. Ada petir membelah langit di hari yang cerah begini? Jayantaka tak habis pikir. Ia menggeleng cepat menampik kalimat adiknya.
"Sudahlah. Mungkin kau salah lihat."
Ranggadewa hendak membantah lagi namun urung ketika dilihatnya seorang kepala prajurit berlari ke arahnya dan Jayantaka berada. Keduanya pun menghentikan kuda mereka.
Kepala prajurit yang mendekat itu menghentikan larinya di depan kuda kedua pangeran dan menyatukan kedua telapak tangan di dada.
"Ampun, Raden. Gusti Prabu meminta Raden menghadap sekarang."
Ranggadewa dan Jayantaka saling pandang sejenak. Lalu sama-sama berpaling pada prajurit itu.
"Ada yang genting?"
"Ampun, Raden. Hamba kurang tahu. Namun sepertinya Gusti Prabu tengah murka."
Ini maknanya memang serius. Sungguhpun mereka tahu perangai ayah mereka yang tidak sabaran dan panas baran namun mereka dapat membedakan kapan saatnya keadaan tidak dapat ditawar lagi.
Tanpa menunggu lagi Ranggadewa menderap kudanya menuju bangunan megah di tepi alun-alun, kedaton Purana. Tak dipedulikannya Jayantaka yang masih terbelit rasa heran oleh perkataannya tentang petir di atas wuwungan keputren. Ia melompat bahkan sebelum kudanya benar-benar berhenti di halaman kedaton dan bergegas menuju balairung.
Di dalam balairung istana yang luas itu tampaklah ayahnya, Prabhu Jnanashiwa tengah berdiri berkacak pinggang di depan singgasana. Di depannya Patih Ragawa tengah berhadapan dengan seorang gadis cantik.
Jnanashiwa menoleh mendengar kedatangannya.
"Bagus kau segera datang. Apakah benar gadis itu adalah kekasihmu, Ranggadewa?"
Sang putra mahkota seketika berpaling pada gadis yang bersimpuh di dekat Patih Ragawa dan Resi Gaharu.
"Prasasti?" Senyumnya terkembang.
Yang ditegur balik menatap Ranggadewa dengan sorot kebingungan. Berbagai pertanyaan yang tak terungkapkan memancar dari mata indahnya.
"Ada apa?"
Pertanyaan itu tak jelas ditujukan pada siapa. Yang pasti Ranggadewa membutuhkan jawaban dari suasana aneh dan tegang yang menyelimuti balairung. Lalu ia beralih pada ayahnya. "Benar, Ayahanda. Dia kekasih saya. Putri Resi Gaharu."

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Ficción histórica"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...