Matanya berbinar penuh semangat. Tangannya mengepal mengawal jantungnya yang berdegup kencang. Sementara sorak sorai bergemuruh di sekelilingnya. Perhatian mereka tertuju pada dua binatang bersayap yang bertarung mati-matian di depannya.
"Ayo....serang. Ayo....."
Yang lain pun menyemangati jagoannya masing-masing. Arena yang riuh itu berada di dekat pasar di mana sering diadakan sabung ayam. Kali ini ayam hitam entah milik siapa diadu dengan ayam jago yang berbulu merah dan keemasan milik seorang saudagar pasar. Riuh rendah suara pendukung tiap jago itu agar saling menyerang dan mengalahkan lawan.
Dan Ranggadewa ada di sana.
Putra Jnanashiwa yang satu itu memang gemar bersenang-senang. Dia lebih suka pergi ke tempat sabung ayam daripada ke tempat gurunya. Atau main judi sampai uangnya habis dan bersenang-senang dengan perempuan di kedai tuak.
Dia selalu diiringi oleh pengawalnya yang setia, Darupalla, kemana pun ia pergi. Termasuk bertaruh di arena sabung ayam.
Akhirnya ayam merah milik saudagar itu yang kalah. Tubuhnya penuh luka dan darah. Ayam jago yang tadinya kokoh itupun ambruk dan tak mampu bertarung lagi.
Sebagian orang yang berkerumun tertawa senang. Sebagian menggerutu karena jagoannya kalah. Ranggadewa tersenyum lebar karena jagoannya menang. Saudagar itu menyeringai masam padanya, jelas kalah besar ia.
"Kita menang, Palla."
Kata Ranggadewa dalam tawanya.
Darupalla segera memasukkan uang hasil kemenangan itu ke dalam kantong kain dan menyelipkan ke pinggangnya. Dan ketika mendongak, wajahnya berubah. Membuat Ranggadewa heran melihatnya.
"Kenapa, Palla?"
"Raden."
Ranggadewa terkesiap mendengar suara berat di belakangnya. Ia berbalik ke arah suara. "Oh, paman Patih."
Ragawa telah berdiri di belakangnya entah sejak kapan. Wajahnya yang kalem dan berwibawa itu memang membuat siapapun segan. Termasuk Ranggadewa.
"Pulanglah, Raden."
Ranggadewa mengernyit. Tidak biasanya Ragawa menyuruhnya pulang ke istana. Benaknya mengatakan pasti ada sesuatu yang penting.
"Apa ada sesuatu, Paman?"
"Raden Jayantaka terluka dan sampai sekarang belum sadar."
Berita itu sungguh mengejutkan. Ranggadewa menelan ludah. "Apa yang terjadi?"
Ragawa memandang anak muda itu seperti guru yang tengah menasehati muridnya. "Dia terkena panah sewaktu berburu di hutan dua hari yang lalu."
Tanpa basa-basi Ranggadewa bergegas. "Ayo kita pulang."
Ketiganya sampai di istana menjelang sore. Ranggadewa langsung menuju kamar Jayantaka diikuti Darupalla. Sementara Ragawa menemui bawahannya yang sudah menunggunya di balairung.
Benar saja. Jayantaka masih belum sadarkan diri. Punggung dan dadanya terbalut kain putih. Wajahnya pucat. Kalau saja tak ada gerakan di dadanya mungkin ia mengira Jayantaka sudah tewas.
Adiknya ada di sana dan berdiri melihatnya datang. Wajahnya yang cantik terlihat mendung.
"Dhyani."
"Kanda, tabib sudah mengobatinya. Katanya panah itu tidak beracun. Tapi kenapa Kanda Jayantaka belum sadar juga?"
Ranggadewa menarik napas mendengar rintihan adiknya. Diamatinya Jayantaka yang sama sekali tak bergerak.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...