Denawa itu menggeliat marah karena ritualnya terganggu. Matanya menyala merah. Air liurnya yang berwarna merah darah menetes dari mulutnya. Ia menggeram dengan suara yang membuat kuduk meremang.
"Ada apa?" Teriaknya pada seseorang yang berdiri gemetaran tak jauh darinya.
"A-ada....y-yang mau bertemu." Suaranya mencicit ketakutan.
"Suruh pergi. Aku tak mau diganggu sekarang." Ia mengibaskan tangan besarnya dan menimbulkan angin yang mampu melempar tubuh anak buahnya keluar.
Tanah bergetar saat kakinya yang sebesar liman dihentakkan. Ia kembali menghadapi meja batu tempat makanan kesukaannya. Jantung manusia.
Denawa itu menguasai seluruh pulau di sekitar Wukir Rahtawu, tempat tinggalnya. Namun kesaktian dan keganasannya bergaung hingga luar pulau. Ia suka memangsa manusia terutama jantungnya untuk membuatnya tetap kuat dan sakti. Setidaknya ia memerlukan tiga jantung manusia setiap satu purnama.
Penduduk pulau itu sudah hampir tak bersisa. Kesemuanya menjadi mangsa denawa. Beberapa mati ketakutan sebelum akhirnya juga menjadi santapannya. Ia marah karena beberapa purnama ini makanannya jauh berkurang. Karena itu ia menyuruh anak buahnya mencari makanan ke luar dwipa.
Purnama ini dia mendapatkan tiga jantung segar namun yang satu hanya berupa pitara. Jantung yang sebenarnya masih berdetak di tubuh pemiliknya. Salah satu anak buahnya telah menandai si empunya jantung sehingga apabila sang denawa menginginkan ia dapat menyantapnya tanpa perlu menyentuh jantung sebenarnya.
Wajah denawa itu memerah kelaparan. Ia melahap dua jantung segar dalam sekejap. Sedangkan jantung pitara hanya mampu dikunyahnya tanpa ditelan. Bukan saja karena ia tak nyata, namun juga karena mendadak tebasan pedang menggores lengannya saat ia tengah mengunyah jantung pitara.
Denawa itu langsung berbalik pada pengganggunya. Mata merahnya melotot penuh amarah. "Siapa berani menggangguku?" gerungnya.
"Kau sungguh tak ingin menemuiku, denawa?"
Seorang perempuan cantik berdiri menentangnya. Di tangannya masih tergenggam pedang tajam yang berkilauan. Dia berwajah seperti purnama yang bercahaya namun matanya yang menyorot tajam melepaskan aura ketegasan yang tak terbantahkan.
Denawa dilahirkan tanpa memiliki rasa sehingga ia tidak mampu membedakan apapun makhluk yang dijumpainya. Yang dia tahu hanyalah tidur nyenyak dan makanan segar saat dia kelaparan. Pun sekarang ia tak menggubris kehadiran gadis itu. Namun karena gadis itu telah mengganggunya dan menggugah amarahnya, ia pun segera mengibaskan angin lesusnya mengusir gadis itu.
Sayang ia gagal. Gadis itu entah sejak kapan sudah berpindah tempat ke sudut yang berseberangan. Angin lesus ciptaannya hanya menghantam udara.
"Aku disini, denawa." Lantang gadis itu. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang kejam.
Denawa menggerung hingga seluruh tempat itu bergetar. Ia mengunyah jantung pitara di mulutnya dengan marah. Kekuatannya bertambah berkali-kali lipat. Kakinya yang besar dengan tapak lebar diangkatnya tinggi-tinggi.
Gadis itu berkelit dan lolos dari pijakan maut sang denawa. Ia melenting jauh ke udara lalu menjejak bahu denawa seraya mengayunkan pedangnya.
Teriakan kuat denawa karena tebasan pedang di lehernya membuat ia sedikit oleng. Lalu hantaman tak kasat mata memukul dadanya. Berkali-kali. Seperti cambuk kecil yang menyerang tepat ke jantungnya. Ia memuntahkan makanannya berikut darahnya yang berwarna hijau pekat.
Entah dari mana datangnya akar-akar yang panjang menyerang dan melilit tubuh denawa. Setiap kali tubuh raksasanya bergerak meronta, akar itu terputus untuk kemudian disusul akar lain yang datang dengan cepat dan melilit tubuhnya lebih kencang.
![](https://img.wattpad.com/cover/24705172-288-k92260.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...