Hyaning menatap istana Puranggahu dalam guyuran gerimis. Istana yang tak suram walaupun langit tak bercahaya. Ia selalu mengagumi kemegahannya sejak pertama kali menginjakkan kaki di sana.
Sekarang tak mungkin lagi ia masuk kesana dengan mudah. Bukan saja karena penjagaan di sekeliling istana begitu ketat namun kedaton yang dilapisi emas itu dilindungi oleh pagar gaib di beberapa tempat yang tak bisa dijangkaunya.
Salah satunya adalah kedaton kiri. Ia tak bisa masuk tanpa ada seseorang yang membawanya kesana. Bahkan seorang resi Jnanawidhi pun tak mampu menolongnya.
Tentu saja karena Sang Prabu tak mengijinkannya. Pagar gaib itu ciptaan sang Jnanashiwa.
Ia telah meminta ijin untuk bertemu dengan Niskala Ratu namun seperti yang diduganya, Prabu Jnanashiwa menolaknya mentah-mentah. Ia bahkan diusir dari istana terang-terangan di depan para punggawa.
Sejujurnya itu menyakitkan hati. Namun ia telah bertekad untuk tidak menyerah. Mungkin ia hanya harus sedikit bersabar untuk mendapatkan peluang bertemu mertuanya.
Ia pun berlalu dari tempatnya beberapa lama setelah Resi Jnanawidhi meninggalkannya di sebuah tempat tak jauh dari kawasan kedaton atas permintaannya sendiri. Ia beralasan akan pergi sendiri ke suatu tempat dan bersikeras tak ingin ditemani.
Dari istana Puranggahu, Hyaning menuju gunung Kemulan. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Uma, perempuan bangsa bunian yang telah ditaklukkan oleh pemimpin Rimba.
Uma seperti telah mengetahui dirinya berada di sana, dan bukan kebetulan saja mereka bertemu.
"Sudah lama tak melihatmu di Purana. Kemana saja kau?" tanya Uma tanpa basa-basi.
"Menyingkirlah dan jangan ganggu aku," sahut Hyaning enggan. Ia tak mungkin tak menghentikan langkah. Uma berdiri di tengah jalan.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku, Hyaning."
"Tidak bisakah kau bersikap sopan, Ratu Uma?" Hyaning mendesis. Wajahnya berubah sinis.
Uma adalah ratu bunian yang negerinya telah ditaklukkan oleh leluhur Hyaning puluhan tahun yang lalu. Bangsa mereka akhirnya berada di bawah kekuasaan Rimba setelah pemimpin bunian waktu itu mengangkat sumpah darah untuk setia kepada Buni Mwara selamanya.
Takdir itu ditolak oleh Uma. Meski ia tak dapat berbuat apa-apa untuk mematahkan sumpah leluhurnya, ia tetap saja tak pernah memperlihatkan sikap tunduk pada orang-orang Rimba. Termasuk pada Hyaning.
"Aku hanya ingin tahu dimana bayiku sekarang. Beritahu aku dan aku tak akan mengganggumu lagi."
Hyaning menghela napas kesal. "Kau sudah membuangnya."
"Bukan aku," jerit Uma. "Kau tahu bukan aku yang membuang janinku. Upaswala yang melakukannya. Terkutuklah dia."
"Adikmu pasti memiliki alasan untuk itu."
"Hanya satu alasan yang dia punya. Dia tidak mau anakku menjegal dirinya sebagai penguasa bangsa bunian," kata Uma berapi-api.
Hyaning menarik tatapannya. Dia melangkah ke samping Uma. "Sepertinya kau tidak mengenal saudaramu sendiri."
"Saudaraku? Yang terlahir dari seorang manusia? Yang telah membuang bayiku demi kepentingannya sendiri?"
Mereka beradu mata. Saling mempelajari kekuatan masing-masing.
"Katakan padaku, siapa di antara mereka yang sesungguhnya adalah anakku? Jayantaka ataukah Ranggadewa?"
Hyaning terdiam. Menimbang apakah pertanyaan itu jebakan ataukah bukan. Ia telah mengetahui bagaimana licik dan jahatnya sang ratu bunian tersebut. Jika ia menyebut satu nama, ia khawatir Uma akan berbuat sesuatu di luar yang bisa dibayangkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Tiểu thuyết Lịch sử"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...