Istana gempar.
Berita kematian Prabu Jnanashiwa menggegerkan seluruh penghuni Purana. Tengah malam yang semula sunyi mendadak berguncang laksana dihantam lindu.
Setengah sadar Ranggadewa menggegas langkah menuju kediaman ayahandanya, Prabu Jnanashiwa. Ia mengabaikan kepalanya yang berdenyut serasa mau pecah.
Tiba di rumah besar ia segera menuju bilik sang raja. Melewati para penjaga yang menghaturkan sembah padanya. Di luar bilik telah ramai. Prajurit penjaga istana, para dayang dan abdi dalem ada disana.
Mereka yang semula berbisik-bisik mendadak diam ketika Ranggadewa muncul. Segera mereka menjatuhkan diri, bersimpuh menyembah putra mahkota mereka.
Dua prajurit menarik dua helai daun pintu kembar hingga terbuka, menunduk ketika Ranggadewa melangkah masuk sebelum menutupnya kembali.
Sritareswari, Ratu Sangkiri dan Uttari mengelilingi ranjang sang Prabu. Mereka menangis tersedu-sedu. Galuh Dhyanindita dan Jayantaka juga disana. Gadis itu menangis di bahu kakaknya. Sementara Jayantaka diam seribu bahasa.
Ranggadewa mematung di tengah ruangan. Ia terpaku tak percaya. Matanya nanar menatap ayahandanya yang terbaring di ranjang. Tak bergerak sama sekali. Sebilah anak panah menancap di dadanya.
Pangeran itu berdiri beberapa lama, tampak terguncang. Lalu ia bergerak perlahan. Jatuh di atas kedua lututnya. Bibirnya bergetar.
"Ayahanda...."
******
Ragawa segera mengumpulkan beberapa prajurit pilihan di halaman kedaton. Mereka berbaris tegap dan siap menerima perintah.
"Sisir sekeliling kedaton. Cari dan tangkap siapapun yang mencurigakan. Kalian berdua," Ragawa menunjuk kedua prajurit di barisan paling kanan. " Temui penjaga gapura dan katakan perintahku ini. Ajak teman kalian untuk melakukan pencarian lebih jauh. Mengerti?"
"Sendiko, Gusti Patih."
Mereka serempak menjawab. Mengangguk hormat lalu membubarkan diri melaksanakan tugas masing-masing. Mereka menyebar ke seluruh bagian istana, mencari orang yang memanah Prabu Jnanashiwa.
Setelah para prajurit meninggalkannya, Patih Ragawa membalikkan badan menuju bilik raja. Ia menjadi orang paling sibuk karena kejadian yang mendadak dan mengejutkan itu.
Keputusan pertama begitu mendapat laporan kematian Jnanashiwa adalah mencari pemanah yang tidak ketahui kedatangan dan kepergiannya. Setelah itu ia baru menemui keluarga istana yang tengah berduka.
Jayantaka menunggunya di depan bilik raja dan memberinya isyarat untuk mendekat.
"Bagaimana, Raden?"
"Ada yang aneh, Paman." Ragawa mengernyit, namun masih mendengarkan. "Menurut tabib, ayahanda Prabu meninggal bukan karena dipanah."
"Aku sudah memeriksanya," sambung Jayantaka. "Anak panah itu tidak melukai jantung. Dan itu bukan panah beracun."
"Apa kata tabib?"
"Ayahanda meninggal karena meminum racun."
"Maksudmu ada yang meracuni Ayahanda Prabu?"
Ragawa dan Jayantaka serentak menoleh ke arah suara. Di belakang mereka, Ranggadewa menatap tajam keduanya. Terutama pada Jayantaka.
"Katakan dengan jelas," desaknya.
"Aku belum mengambil kesimpulan. Aku hanya mengutarakan apa yang dilaporkan tabib istana padaku, Ranggadewa."
Hari sudah beranjak fajar. Bulan sudah tergelincir ke ufuk barat. Semakin pagi semakin banyak yang bangun dan terkejut oleh mangkatnya Sang Prabu yang tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...