"Mau kemana, Pangeran?"
Ranggadewa terbeliak melihat siapa yang menghadang langkahnya. "Kau?"
Gadis di hadapannya tersenyum begitu manis tapi justru membuat sang pangeran mendengus marah. "Jadi kau berpihak pada pemberontak? Bagus. Bersiaplah untuk mati sekarang."
Ranggadewa menyabetkan pedangnya yang telah menelan banyak nyawa ke arah gadis itu, namun dengan lincah ia berkelit menghindar.
"Aku tidak ingin bertarung denganmu, Pangeran."
"Diam kau, sundal." Semakin gencar Ranggadewa menyerangnya, menutup setiap peluangnya untuk baik menyerang.
Kemarahan meluap dari dada yuwaraja Puranggahu itu, membuatnya kalap menyerang siapa pun yang ada di hadapannya. Tak urung membuat lawannya jadi gentar meskipun mereka beramai-ramai menyerang. Beberapa prajurit Kambangan Petak kembali jadi korban tajamnya pedang Ranggadewa ketika gadis yang tak lain adalah Anila sibuk berkelit menghindari serangan sang putra mahkota.
Nyatanya amukan Ranggadewa yang diselubungi amarah karena saudaranya tumbang di medan laga membuat musuh kewalahan. Hingga datanglah Kundatta menyeruak di antara mereka. Ia langsung berhadapan dengan Ranggadewa.
"Jadi ini rupanya putra mahkota Puranggahu," ia tersenyum meremehkan. "Giliranmu mati segera tiba, Raden."
Ranggadewa memandang muak pada seringaian Kundatta yang nampak buas. Walaupun ia tahu bukan dia yang mengalahkan Jayantaka, melainkan orang lain, namun tetap saja Kundatta lah yang harus bertanggungjawab.
Kundatta mencabut pedang dan keduanya segera terlibat duel yang berbahaya. Terkadang saat kedua pedang mereka beradu timbul percikan api yang berkilauan tertimpa matahari pagi.
Jurus-jurus mengalir tanpa henti dan keduanya tak ada tanda-tanda saling mengalahkan. Sementara pasukan Puranggahu makin menyusut karena kalah jumlah dan tak mampu menandingi banyaknya prajurit Kambangan Petak.
Ranggadewa yang melihat itu mulai cemas pasukannya akan dibantai habis tanpa sisa. Matanya mencari-cari Wulung dan menangkap gerakannya tengah berjuang di tengah kepungan musuh.
Saat mendapat peluang, secepat kilat Ranggadewa melesat menjauhi Kundatta seraya menyabetkan pedangnya ke dahan-dahan yang dilaluinya untuk mengacaukan pandangan Kundatta yang mengejarnya.
"Hei, jangan lari seperti pengecut kau."
Teriakan Kundatta tak digubrisnya. Ia mendekati Wulung, membantunya melawan keroyokan prajurit musuh dan memberi isyarat agar tangan kanan Jayantaka itu pergi. Ia mengambil alih pertarungan dan menyadari pasukan hanya tersisa belasan orang.
Puluhan anak panah meluncur deras ke arah mereka mencari sasaran. Ranggadewa harus berkelit beberapa kali untuk menghindarinya.
"Mundur!"
Para prajurit Puranggahu serentak menoleh pada suara pemimpin mereka. Ranggadewa menggerakkan tangannya tinggi memerintahkan pasukannya mundur dari medan pertempuran. Merekapun lari ke barat mencari selamat.
"Kurang ajar!" Kundatta mengumpat geram. "Kejar dan habisi mereka."
Segeralah terjadi pengejaran besar-besaran. Pasukan Kambangan Petak beramai-ramai mengejar sisa prajurit Puranggahu yang lari masuk ke hutan.
Kundatta pun tak mau ketinggalan. Ia segera menaiki kudanya dan bersiap mengejar Ranggadewa dan pasukannya. Namun ia dihalangi Maruta.
"Ada apa?" Sergahnya kesal.
"Hamba berhasil membunuh Jayantaka, Gusti."
*******
Suara burung yang berisik membangunkannya dari tidur yang sudah entah berapa lama. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan ngilu. Lengannya terasa berat karena tertindih sesuatu.
![](https://img.wattpad.com/cover/24705172-288-k92260.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
أدب تاريخي"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...