Malam semakin dingin. Menanjak tinggi dengan udara yang tiba-tiba saja turun menusuk tulang. Prasasti memeluk tubuhnya sendiri dalam upayanya mengusir rasa dingin yang mengulitinya.
Di luar rembulan yang tengah purnama berlayar tenang di langit malam. Sinarnya yang lembut menerobos celah-celah dinding kayu. Prasasti bergidik. Ia seolah melihat kematian mengintainya di balik dinding.
Dua orang prajurit mendatangi biliknya. Seorang di antaranya membawa tali panjang. Mereka membuka pintu ruang penjaranya dengan kasar.
"Hei, bangun. Sudah waktunya kau jadi santapan harimau."
Prajurit yang berbadan gempal menarik lengan Prasasti dengan kasar lalu melipatnya ke belakang. Sementara kawannya yang membawa tali segera mengikat tubuhnya kuat-kuat hingga kulitnya tersayat.
Sungguh seperti yang dibayangkannya. Ia dibawa ke kandang harimau dalam keadaan diikat kuat. Prasasti meringis saat kedua prajurit itu menyeretnya keluar pakunjaran.
Mereka menyeberangi lapangan yang luas. Beberapa obor terlihat berkelap-kelip di tepiannya. Bulan timbul tenggelam di antara awan tipis yang bergerak pelan di angkasa.
Kandang harimau itu ada di belakang istana. Dari jauh bahkan sudah terdengar geraman buas hewan yang kelaparan itu. Siapapun yang mendengarnya pastilah merinding ketakutan. Termasuk Prasasti.
Bau kematian menerpa hidungnya dihembus angin malam. Setelah ini tidak ada lagi cerita dalam hidupnya. Ia akan mati dalam keadaan penasaran. Belum sempat ia bertemu ibunya dan mendengar kisah tentang ayahnya secara langsung. Mungkin jika Yama tidak menerimanya di alam arupa, ia akan jadi roh yang bergentayangan dan tidak memiliki kesempatan terlahir kembali.
Kedua harimau Jnanashiwa mengaum buas sambil mencakar-cakar kandangnya. Terlihat sekali mereka amat kelaparan. Di bawah sinar bulan mereka tampak seperti dewa maut dengan taring dan cakar mematikan.
Prasasti berkedip gelisah. Raut mukanya berubah begitu matanya menangkap sosok lelaki bermata merah berdiri tak jauh dari kandang harimau. Mata merahnya menyorot dingin padanya.
Ditolehnya kedua prajurit yang membawanya. Mereka seolah tidak terpengaruh oleh kehadiran lelaki bunian itu. Atau, jangan-jangan mereka tidak melihatnya?
Jarak mereka makin dekat tetapi mereka tidak berkata apapun seolah tidak ada apa-apa di hadapan mereka. Keduanya menggiring Prasasti dengan semangat menuju kandang.
Tidakkah mereka tahu lelaki itu berdiri tegak lurus di arah jalannya? Mereka ini buta atau bagaimana?
"Eh...tuan prajurit. Ada orang di situ."
Kedua prajurit itu serempak berhenti dan menoleh ke arah Prasasti. Lalu ke arah lain seraya mencari dengan matanya.
"Di mana?"
"Tidak ada siapa-siapa di situ. Jangan mengada-ada."
Temannya tertawa. "Dia sudah mau mati jadi pandangannya sudah kabur."
Keduanya terkekeh mengejek Prasasti. Lalu kembali menyeretnya. "Cepat jalan."
Prasasti menelan ludah. Kenapa lelaki itu sama sekali tidak bergerak? Bukankah ia akan tertabrak jika terus berdiri di sana?
"Hei, menyingkirlah dari situ."
Lelaki itu bergeming.
Sementara ia ditertawai oleh prajurit yang mengawalnya. "Gadis ini sudah tidak waras."
"Maklum saja. Sebentar lagi dia akan jadi santapan gogor."
Prasasti berhenti tepat di hadapan lelaki bermata merah itu. Keduanya bertatapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...