Bab LIV

1.7K 187 50
                                    

Jnanaloka menggeliat bangun. Kepalanya terasa amat berat dan berputar-putar. Wajahnya masih memerah karena mabuk. Dan ia sangat terganggu oleh mimpinya yang cukup buruk.

Saat ia menerima kabar dari Jayantaka bahwa Prasasti masih hidup, ia sungguh-sungguh tidak percaya. Gadis itu memang punya ilmu kanuragan yang lumayan, namun tidak akan ada gunanya jika ia menghadapi dua harimau belang milik ayahnya.

Ia cukup terusik oleh pernyataan Jayantaka dan bermaksud membuktikan bahwa kakaknya itu telah membohonginya. Maka ia pun menuju pakunjaran sore itu juga.

Satu hal dari kakaknya yang paling ia benci adalah bahwa kakaknya selalu benar. Apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Ia tak pernah mengada-ada ataupun mengutarakan dusta. Termasuk tentang Prasasti.

Benar ternyata gadis itu masih hidup. Tetapi bagaimana mungkin? Bukankah malam itu ia sudah digiring ke kandang harimau di belakang istana? Dari suara aumannya yang buas, Jnanaloka sangat yakin harimau itu telah mendapat mangsa untuk memuaskan rasa laparnya yang sudah memuncak.

Lalu bagaimana bisa gadis ini tetap hidup? Terlepas dari beberapa lecet di lengannya, ia benar-benar hidup dan tidak terluka. Apakah ia tak jadi dimangsa harimau belang milik ayahnya?

Pasti ada sesuatu yang ajaib dan istimewa pada dirinya. Jnanaloka menatapnya dari seberang jeruji kayu. Mencari sesuatu yang bisa ia jadikan jawaban dari rasa penasarannya. Satu hal yang ia yakin, Prasasti memang bukan gadis sembarangan.

Lolos dari terkaman harimau yang buas adalah sesuatu yang luar biasa. Jnanaloka sungguh penasaran bagaimana hal itu bisa terjadi. Ia menajamkan telinganya, mendengarkan suara yang paling halus sekalipun dari sekitarnya. Namun hasilnya nihil. Prasasti tidak menunjukkan tanda yang tidak biasa. Ia tetap seperti yang dilihatnya sebelum saat ini.

Jnanaloka mendengus kesal kemudian berbalik pergi begitu saja. Ia menyumpah-nyumpah sepanjang jalan menuju istana. Kekesalannya memuncak sudah. Ia lalu memerintahkan Darupalla agar memajukan jadwal pestanya. Ia ingin segera meminum tuak sebanyak yang ia mau untuk mengalihkan kekesalan hatinya.

Sang pengawal itupun segera melaksanakan titah rajanya. Hingga ketika malam belum terlalu larut Jnanaloka sudah melupakan dunia. Perutnya sudah panas dan kepalanya berdenyut kencang.

Ia ingat bertengkar dengan Jayantaka sebelum Darupalla memapahnya dengan susah payah menuju biliknya di belakang istana. Ia menjatuhkan diri di ranjangnya yang empuk dan segera terlelap. Jika saja ia tak bermimpi mungkin ia tak akan bangun hingga matahari tergelincir di ufuk barat.

Suara gemerisik mengganggu tidurnya. Jnanaloka jengkel dibuatnya. Untunglah itu hanya sementara, suara-suara itu lalu menghilang begitu saja. Ia membuka matanya yang terasa seberat gajah. Lalu terhuyung meraih cawan di meja. Ia butuh minum. Tenggorokannya terasa terbakar.

Samar-samar ia melihat seseorang di sudut kamarnya. Sosoknya begitu kabur. Hari masih begitu pagi. Ditambah lagi ia masih belum sadar sepenuhnya.

"Siapa kau?" Jnanaloka mencoba  bersuara lantang namun yang keluar dari mulutnya hanya cicitan burung.

Sosok itu bergerak menghampirinya. Seorang laki-laki. Masih muda dan tegap. Jnanaloka sepertinya tidak asing dengan wajah itu. Namun ia gagal mengingatnya.

"Aku tanya siapa kau?"

Jnanaloka mengulurkan tangannya bermaksud menghajar orang kurang ajar yang memasuki biliknya tanpa ijin. Namun gerakannya goyah dan lamban. Sekali tangkis, orang itu bahkan berhasil menjatuhkan Jnanaloka.

Tangannya sangat kuat. Ia menyentak bahu Jnanaloka dengan tangan kiri saja hingga Raja Puranggahu itu berdiri. Ia mengelak sedikit saat sang Nata menyikutnya. Kemudian ia merangkul leher Jnanaloka dengan lengan kanannya dengan kuat.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang