Bab XLIII

1.5K 177 10
                                    

"Apa itu tadi, Prasasti?"

Panji geleng-geleng kepala tak percaya. Mereka baru saja lepas dari kabut yang menghalangi mereka turun bukit. Namun kemudian ia menyadari kabut itu pulalah yang membuat mereka terlepas dari sang pemburu.

Prasasti hanya menggeleng kecil. Ia melipat jari-jarinya membentuk kepalan, terpejam sejenak sebelum kembali membuka mata seiring telapak tangannya.

Di depannya, Panji ternganga. Mengerjap tak percaya. "Kenapa.... kenapa lintah-lintah itu masuk ke telapak tanganmu, Prasasti? Kau ini, manusia kan?"

Gadis itu tertawa geli. "Tentu saja aku manusia. Kaupikir aku apa?"

"Tapi....itu tadi....," sanggah Panji tak selesai karena Prasasti menyambar kalimatnya.

"Sudahlah. Jangan dipikirkan. Ayo jalan."

Panji masih terheran-heran dibuatnya. Tadi ia bermaksud membantu Prasasti mengangkat batang kayu besar yang menghalangi jalan mereka. Beberapa lama ia baru menyadari Prasasti hanya berdiri terpaku sambil menatapnya nanar.

Terdengar amat jelas ketika gadis itu bicara entah dengan siapa, nadanya seolah marah dan kemudian menyuruh siapapun yang diajaknya bicara untuk pulang.

Panji celingak-celinguk namun tak melihat siapapun selain mereka berdua di dalam hutan itu. Matanya membulat ketika melihat lintah besar menempel di telapak tangan Prasasti lalu menghilang begitu saja, diikuti lintah yang lain, merasuk ke telapak tangan gadis itu.

"Panji."

Teriakan Prasasti menyadarkannya. Ia telah tertinggal cukup jauh. Bayangan gadis itu hampir tak kelihatan jauh di depannya, diantara kabut tipis yang mulai berdatangan. 

Sepertinya ada yang tidak ia ketahui tentang Prasasati. Sejak ia tersesat ke tempat asing tanpa ada satu pun yang mau bicara padanya bahkan seolah takut melihat kehadirannya, hanya gadis itulah yang mau menolongnya. Memberinya tempat tinggal dan perlindungan.

Ia pasti bukan gadis biasa. Banyak yang kepadanya meminta pertolongan ketika sakit. Bisa dipastikan gadis itu seorang tabib. Sungguh luar biasa. Di usianya yang masih muda ia memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang lain. Panji memujinya diam-diam.

Setiap kali ada yang mendatangi pondok Prasasti untuk meminta pengobatan, gadis itu menyuruhnya bersembunyi di belakang rumah agar tak seorang pun tahu keberadaannya di sana. Jelas tabib muda itu berusaha melindunginya.

Ia terus waspada hingga saat terakhir sebelum beberapa orang datang dan membakar pondoknya, ia sempat melarikan diri bersamanya.

Dan sekarang, gadis itu yang menyelamatkannya dari lintah besar yang menempel di punggungnya entah sejak kapan. Yang ia tak mengerti, kenapa lintah besar itu menuruti perintah Prasasti?

Siapa dia sebenarnya?

"Prasasti," Panji terengah saat berhasil menyusulnya ke bawah bukit. "Jelaskan padaku agar aku tidak bertanya-tanya."

"Apa yang harus kujelaskan?"

"Tadi kau bicara dengan siapa? Dedemit atau apa? Sebab aku tak melihat siapapun selain kita."

Mereka berpandangan. Panji menatap dengan rasa ingin tahu sementara Prasasti seolah tak peduli.

"Bukan siapa-siapa."

"Lalu siapa itu Rugali?" Mata Prasasti seketika berkilat tajam. "Aku dengar kau menyebut nama itu tadi."

"Bukan siapa-siapa." Prasasti mengulang jawabannya dengan sedikit enggan. Seperti ada sesuatu yang tidak ingin ia sampaikan.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang