Bab LII

1.5K 173 17
                                    

Kedua matanya yang berwarna merah menyala di kegelapan. Bau amis darah segar menguar dari tubuhnya. Geraman rendah bergetar dari bibirnya yang masih meneteskan darah.

"Mungkin itu makan malammu yang terakhir." Cibir seseorang tak jauh dari lelaki bunian itu. "Pemujamu sudah mati. Kau tidak akan mendapat persembahan lagi."

Lelaki itu tidak menjawab. Ia melanjutkan makannya seolah tidak terpengaruh oleh cibiran barusan. Toh ia masih punya pemuja yang lainnya jadi ia tidak khawatir salah satu pemujanya mati ditelan api.

Uttari memang pemujanya yang setia. Apapun yang dimintanya selalu dapat disediakan wanita dari keraton itu. Dan sebaliknya ia pun memberikan apa yang Uttari inginkan.

Meninggalnya Uttari siang tadi bukan karena ia lalai melindungi pemujanya itu. Melainkan karena ia tidak mau mencampuri urusan dalam istana Puranggahu.

"Sudahlah, Upaswala yang Agung. Jangan menyesali apa yang telah terjadi...." Seketika ia bungkam ketika lelaki itu menatapnya tajam. Kemudian ia menghela napas kasar.

"Susah sekali bicara denganmu. Apa kau mendadak bisu?"

"Kalau kau sudah selesai disini, cepat kembali ke rumah."

Upaswala menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak.

Perempuan itu berdecak kesal karena merasa tidak dipedulikan. Ia sudah seringkali kali menghadapi Upaswala yang dingin dan tidak memiliki rasa laksana batu. Tiap kali pula ia dibuat kesal karenanya. Lalu ia akan melampiaskannya pada apapun di sekitarnya.

"Sancaka," teriaknya pada rimbunan perdu tak jauh di depannya. "Apa kau akan tetap sembunyi di situ?"

Bunyi kemerosak rerumputan dan ranting yang terinjak saat ular besar merayap keluar dari rimbunan yang gelap. Ular besar itu berhenti di depan Uma dan menegakkan kepala.

"Aku tidak ikut campur urusan keluarga."

"Keluarga apa?" sembur Uma berang. "Aku ingin bertarung. Ayo hadapi aku."

"Satu jurus saja."

"Kau mengejekku?"

"Aku harus kembali ke sancabhawana. Sudah lama aku pergi. Aku tidak mau Candrika membuat kekacauan disana."

Lalu tanpa basa-basi lagi kedua makhluk bunian itu terlibat adu tanding. Lebih tepatnya Umalah yang memulai menyerang duluan. Sancaka jarang terlihat menyerang. Ia hanya menghindari serangan Uma ataupun menangkisnya. Ia tahu benar kebiasaan ratu bunian itu, selalu ingin bertarung ketika sedang kesal atau marah.

Upaswala yang adalah kakaknya tidak pernah meladeninya. Sejak awal hubungan keduanya memang tidak dekat, apalagi Upaswala dilahirkan atas bantuan manusia.

Karena itu Uma lebih akrab dengan sesama bunian seperti Sancaka. Para kawulanya menganggap mereka adalah pasangan raja dan ratu walaupun sesungguhnya tidaklah demikian.

Sancaka menangkap tangan Uma yang tengah melancarkan serangan mematikan melalui jari-jarinya.

"Cukup. Ini sudah lebih dari satu jurus."

"Kau membuatku kesal."

"Maafkan aku, Ratu. Aku sungguh harus kembali. Tidak ada maksud untuk mengabaikanmu."

Aliran tenaga dalam Uma menyurut. Sancaka perlahan melepaskan cekalannya. Ia tahu ratu cantik itu masih dikuasai amarah sepeninggal Upaswala.

"Selesaikan masalahmu disini. Dan jangan tinggalkan jejak apapun. Jika kau butuh bantuanku, panggillah aku kapan saja."

Uma terbujuk. Ia menatap raja ular itu dan melihat kesungguhan di mata kuning keemasan milik lelaki itu. Setidaknya ia tahu Sancaka tidak akan berkhianat padanya.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang