Bab XXXIV

2K 190 5
                                    

Kundatta menatap tajam kedua orang asing yang menghadapnya pagi itu. Raja Kambangan Petak itu menelisik lebih jauh dengan mata batinnya. Dua orang yang menghadapnya berpenampilan layaknya pendekar. Mereka pasti bukan penduduk biasa.

"Kalian di pihakku?"

Keduanya serempak menghaturkan sembah. "Hamba, Gusti Prabu."

Kundatta mengangguk. "Baiklah. Bisa kaujabarkan kekuatan mereka?"

Mereka pun menguraikan keterangan yang didapatnya di perbatasan timur.
Hanya seratus orang. Itu tidak berarti apa-apa, batin Kundatta. Pasukannya jauh lebih besar daripada itu. Penyambutan dari Puranggahu sepertinya tidak menarik. Sebagai kerajaan besar seharusnya Puranggahu mampu menggelar lebih banyak prajurit di perbatasan jika tujuannya untuk menghadang pasukan Kundatta.

"Mungkin juga ini hanya jebakan. Pasukan di perbatasan itu mungkin hanya untuk memancing kita, Gusti."

Kundatta membenarkan kata-kata patihnya. "Kita tetap pada rencana semula. Pasukan akan kita bagi dua untuk menyerang dari timur dan selatan. Kurasa rombongan penyambut tamu itu bisa digilas dengan mudah karena separuh pasukan kita jauh lebih banyak dari jumlah mereka."

Kepercayaan diri Kundatta meluap memenuhi dadanya. Rasanya ingin segera ia terjun ke medan perang saat itu juga.

"Kalian boleh ikut ke perbatasan timur. Tunjukkan dimana tempat mereka masanggrah."

Di hari yang ditentukan, Kundatta sendiri yang memerintahkan pasukan besarnya berpecah menjadi dua bagian. Keduanya bergerak bersama melintasi alun-alun kedaton Kambangan Petak laksana air bah yang meluap dari hulu sungai.

Di persimpangan pertama di luar alun-alun pasukan kiri yang dipimpin sendiri patih Kambangan Petak memisahkan diri bersama seluruh pasukannya menuju ke perbatasan selatan. Sementara pasukan kanan yang dipimpin langsung oleh raja Kundatta terus bergerak menuju perbatasan timur.

Kundatta duduk di atas punggung kudanya yang kekar berwarna hitam. Bendera kebesaran berkibaran di belakangnya. Para prajuritnya begitu bersemangat mengikuti derap kaki kuda rajanya melintasi hutan menuju wilayah Puranggahu. Pasukan yang hanya berjalan kaki itu membutuhkan waktu lebih dari sehari untuk mencapai wilayah tepi kerajaan dimana jalan yang mereka lalui hanyalah hutan belantara yang lebat dan rimbun.

Malam telah turun ketika mereka masih di perjalanan. Hutan yang gelap seolah menawarkan bahaya. Obor-obor mulai dinyalakan sementara mereka terus bergerak menembus belantara. Kundatta tak ingin berhenti sebelum mereka mencapai tujuan.

Kegelapan membungkus jagat raya tanpa pertolongan cahaya bulan. Angin gunung yang berhembus kencang mengejar kabut makin menusuk tulang. Dan akhirnya Kundatta menarik tali kekang kudanya.

"Berhenti disini. Kita akan masanggrah di tempat ini." Teriaknya lantang menembus malam. Cahaya obor yang remang-remang kesulitan melawan pekatnya kabut.

Kundatta berpaling pada dua pendekar yang mengikutinya. "Masih jauhkah dari sini?"

"Tidak, Gusti. Kita sudah dekat dengan perbatasan timur."

"Bagus." Kundatta mengangguk puas. Ia telah membayangkan kemenangannya esok pagi.

**********

Jayantaka akhirnya berhasil mengejar kuda ayahnya yang dipacu kesetanan. Entah apa yang diburu oleh ayahnya. Busur di tangannya terentang kuat dengan anak panah yang siap dilepaskan.

"Ayahanda," panggil Jayantaka.

Jnanashiwa tersentak menoleh dengan marah. "Mau apa kau?"

"Kambangan Petak akan menyerbu Puranggahu dalam pekan ini juga."

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang