"Aduh."
Galuh Dhyanindhita hampir saja jatuh karena tersandung kainnya sendiri. Ia mengutuki dalam hati kenapa kainnya begitu panjang hingga menyentuh tanah menyebabkan dirinya tak bisa bergerak bebas. Apalagi di saat genting seperti sekarang.
Ia tak mempedulikan dua prajurit penjaga gapura ksatrian yang memberikan sembah padanya. Menggesa langkahnya sendiri seolah di belakangnya ada makhluk tak kasat mata yang mengejarnya.
Untuk kedua kalinya ia tersandung lagi. Dan kali ini, sang putri benar-benar terjatuh.
"Aduh," Dhyanindhita meringis merasakan ngilu di kaki kirinya.
"Dinda."
Dhyani mendongak, melihat ke arah suara dan mendapati kakaknya segera membantunya berdiri.
"Kenapa tidak hati-hati?"
Jayantaka terlihat cemas. Ia membimbing adiknya masuk ke dalam pendopo ksatrian, mendudukkannya di dampar kayu berukir dan menyuruh dayang mengambilkan obat. Sang putri masih meringis menahan sakit.
"Kanda, cepatlah pergi ke tempat guru." Kata Dhyani terengah. Cemas dan penuh harap.
Jayantaka keheranan. "Ada apa?"
"Ayahanda...." Alis Jayantaka menaik. "Ayahanda Prabu menyuruh Paman Patih membakar padepokan."
"Apa?"
Dhyani mengangguk cepat beberapa kali. "Aku mendengarnya sendiri, Kanda."
Hati Jayantaka terbelah. Berita yang dibawa adiknya sungguh mengejutkan. Ayahnya akan membunuh gurunya?
"Jangan mengada-ngada. Itu tidak mungkin, Dinda." Jayantaka tersenyum kalem.
Namun siapa yang tahu kalau di dalam dadanya bergemuruh. Ia tahu bagaimana ayahnya. Yang dikatakan Dhyanindhita adalah hal yang sangat mungkin bagi ayahnya.
Jnanashiwa tidak pernah memandang pada siapapun kecuali dirinya sendiri. Ia bisa mengakhiri hidup seseorang apabila ia tidak menyukainya. Tanpa alasan.
Hidupnya penuh darah. Entah apakah dia memiliki hati ataukah tidak. Tidak ada yang tahu siapa mengajarinya. Jnanaraja, sang ayah yang juga adalah kakek Jayantaka, selalu mengajaknya pergi berperang. Ia tak pernah mangkir seperti kedua kakaknya. Ia putra bungsu yang ambisius dan tumbuh jadi pemuda bengis jauh sebelum menjadi raja.
Ia memperlihatkan hal itu pada siapa saja. Anak-anaknya, terutama Ranggadewa dan Jayantaka, dan tangan kanannya, Ragawa, jauh lebih tahu bagaimana dinginnya seorang Jnanashiwa dibandingkan orang lain.
Membunuh adalah kesenangan baginya. Tanpa melihat siapa yang berakhir di ujung pedang dan tombaknya. Kedua senjatanya seolah bernyawa dan meminta korban. Dan bisa jadi Gaharu adalah sasaran berikutnya.
"Guru adalah teman ayahanda. Jadi beliau tidak mungkin melakukannya. Kau tenang saja, Dinda."
Dhyanindhita memandang kakaknya dengan tatapan tak percaya. Ia memang hanyalah seorang putri yang tidak dekat dengan ayahnya. Namun ia tahu, ayahandanya seorang yang teguh pada keinginannya. Apapun itu.
"Anggap saja aku salah, Kanda. Tapi kumohon, pergilah. Dia guru kita."Demi menenangkan hati adik kandungnya, Jayantaka akhirnya mengangguk. "Aku akan memberi kabar tentang guru secepatnya."
Dhyanindhita memandang kepergian Jayantaka dengan penuh harap. Meskipun ia tahu ayahandanya dan sang patih tak pernah bisa diragukan, ia yakin mereka berdua memang memgincar gurunya, setidaknya ia masih bisa berharap pada kakaknya untuk menyelamatkan sang guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...