Bab XXII

2.4K 232 7
                                    

Pratiksa keluar dari kedaton kepatihan. Langkahnya yang gagah diarahkan menuju gapura selatan. Ia tak menyadari orang kedua yang berkuasa di Puranggahu, Patih Ragawa memandanginya sambil tersenyum. Di usianya yang begitu muda ia telah menjadi salah satu kepala prajurit kepercayaan sang Patih.

Ia mengambil kudanya dan menghelanya ke arah gapura. Dua ekor burung kalangkyang melintas di atasnya. Pratiksa mendongak melihat pergerakannya yang seirama terbang ke selatan. Mereka pasti pasangan. Pikir Pratiksa, bibirnya mengulum senyum.

Di depan gapura kepatihan Pratiksa berbelok ke kiri. Ia bermaksud meronda berkeliling ke seputar kedaton sebelum kembali ke gapura daksina. Ia melihat lebih banyak prajurit ditempatkan di berbagai sudut. Prabu Jnanashiwa memang tidak pernah main-main dalam melakukan suatu keputusan. Pengamanan menjelang pernikahan Jayantaka ditingkatkan beberapa kali lipat mengingat kemungkinan adanya penyusupan oleh orang asing ataupun musuh di dalam rombongan para tamu kedaton.

Pratiksa membawahi beberapa prajurit pilihan menyambut kedatangan para bangsawan yang diundang oleh Prabu Jnanashiwa. Mereka biasanya akan memasuki istana dari gapura daksina. Hanya dua rombongan yang datang melalui gapura timur. Kali ini Pratiksa mengarahkan kudanya kesana.

Prajurit penjaga gapura timur memberi hormat padanya ketika ia datang mendekat dan menghentikan kudanya di depan mereka.

"Bagaimana keadaan di sini?" tanyanya.

"Aman, Ketua."

"Bagus." Pratiksa bergumam puas. Ia mengedarkan pandangannya tajam ke sekeliling dan telinganya menegang.

Suara derap kaki kuda terdengar di kejauhan. Makin lama makin dekat. Pratiksa bersiap menyambut siapapun yang datang bersama kuda-kuda yang berderap mendekat itu.

Dan benar saja, tak lama kemudian dua ekor kuda membawa penunggangnya muncul dari tikungan menuju gapura timur.

Pratiksa menatap keduanya mendekat ke tempatnya. Ia berpikir inikah tamu terakhir yang ditunggu kedatangannya? Pemuda itu masih duduk di atas kudanya, menegakkan punggung dengan siaga. Kuda-kuda pendatang itu meringkik kuat dan berhenti tak jauh di depannya.

"Selamat datang di Puranggahu," ucapnya ramah pada kedua orang, lelaki dan perempuan, yang baru datang. "Apakah kalian dari Kambangan Petak?"

Kedua orang itu saling melirik. Yang lelaki menjawab, "Benar. Kami dari Kambangan Petak."

"Mohon tunjukkan lencana kerajaan kalian, Tuan," ujar Pratiksa sopan. Ia memang ditugaskan untuk memeriksa tamu yang datang,  memastikan mereka bersih dan tidak disusupi orang asing sebelum diijinkan melewati gapura kedaton dan diterima di istana.

Lelaki itu bergerak mendekat ke arah Pratiksa, ia masih duduk di atas kudanya dengan gagah. Ada hawa aneh yang tercium dari diri lelaki itu. Aura yang menggetarkan. Pratiksa merasakannya, ia mengerutkan kening mencoba menelaah dengan siapa ia berhadapan sekarang.

"Ini yang kauminta." Lelaki itu mengulurkan lencana perak berbentuk bulat bergerigi dengan simbol kepala burung yang dipahat sempurna.

Dengan tingkat kewaspadaan yang tak meluntur Pratiksa menerimanya. Lencana perak itu terasa hangat dan memiliki energi. Pratiksa terkesiap. Tubuhnya menegang. Lencana itu menyerap tenaga dalamnya.

Ditatapnya lelaki pembawa lencana itu dengan tajam. Diulurkannya lagi benda perak itu kepada pemiliknya.

"Ini bukan lencana kerajaan Kambangan Petak. Katakan siapa kalian sebenarnya?"

Lelaki itu tersenyum tipis melihat Pratiksa menghunus pedangnya. Ia menyelipkan lencana ke pinggangnya. Ditatapnya Pratiksa lekat-lekat seolah ingin membelah jantung pemuda itu. Ia bukannya tak tahu prajurit muda di hadapannya itu terpengaruh oleh kekuatan magis dari dalam dirinya. Sorot matanya yang tajam dan waspada tak luput dari perhatiannya.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang