Bab V

4.8K 457 4
                                    

Angin malam yang bertiup pelan di kaki gunung Kemulan terasa menusuk tulang. Matahari sudah dari tadi pergi ke balik malam. Suasana akan sepenuhnya gelap gulita jika saja bulan purnama tak muncul di langit timur. Sinarnya yang keemasan menyepuh daun-daun menjadikannya berkilau. Alam sepertinya sedang ingin mengalun tenang bahkan seolah ingin berhenti di waktu itu selamanya. Ketenangannya sungguh begitu damai menyelimuti seluruh pesanggrahan.

Tempat itu dibangun sepuluh warsa yang lalu atas kebaikan hati sang raja. Sebagai rasa terima kasih dan rasa hormatnya kepada para brahmana. Pesanggrahan itu cukup besar untuk menampung seratus orang dalam acara pemujaan.

Bangunan utamanya terletak di tengah dikelilingi sekitar sepuluh pondok kecil tempat para guru dan murid-murid pesanggrahan tinggal.

Resi Gaharu adalah guru besar sekaligus pemilik pesanggrahan itu. Dia seorang yang berwajah keras namun sorot matanya begitu teduh dan penuh kasih. Rambut dan janggutnya sudah memutih. Pembawaannya yang tenang betul-betul mencerminkan dia sebagai guru besar yang disegani di seluruh Puranggahu.

Siapapun akan mengakui bahwa brahmana itu memiliki aura kuat yang membuat orang lain merasa kecil. Termasuk dua pemuda yang menemuinya malam itu.

"Jadi kau putra tunggal Brajakalpa?" Gaharu manggut-manggut oleh anggukan pemuda itu. Tentu saja Gaharu mengenal siapa nama yang disebutnya tadi. Ayah pemuda itu. Brajakalpa adalah teman masa mudanya dulu. Teman yang sudah belasan tahun tak ditemuinya bahkan tak terdengar kabarnya sejak penyerangan ke Gangsingan berakhir.

"Saya kesini ingin memohon pertolongan Resi." Pemuda itu terdiam sejenak menunggu reaksi sang resi atau mungkin sebuah pertanyaan darinya. Namun Gaharu hanya diam dan ia pun melanjutkan, "Tolong lindungi keluarga saya jika terjadi sesuatu pada saya. Saya tahu Gusti Prabu tak akan berhenti pada saya saja. Beliau pasti akan mencari keluarga saya juga."

"Aku mengerti, Anak Muda. Aku kabulkan permintaanmu. Malam ini menginaplah di sini. Besok pagi kau bisa bertolak ke istana."

"Terima kasih, Resi. Terima kasih." Saking bahagianya pemuda itu berkali-kali mengucap terima kasih dan mencium tangan sang resi. Gaharu hanya tersenyum penuh pengertian.

Kemudian Gaharu menyuruh seorang muridnya mengantar kedua pemuda tadi menuju bilik tamu agar bisa segera beristirahat. Setelah ketiganya pergi barulah Prasasti masuk ke ruangan itu. Dia duduk bersimpuh di depan Gaharu.

"Kau mendengar semuanya tadi?"

Pertanyaan Gaharu membuat Prasasti malu. Dia merasa telah berbuat tidak sopan karena mendengarkan pembicaraan orang. Sebenarnya dia tak sengaja. Tadi sewaktu mau masuk terdengar sang Resi tengah berbicara dengan kedua pemuda itu. Prasasti urung masuk dan menunggu di depan pintu dan mendengar pembicaraan mereka hingga usai.

"Saya tidak bermaksud menguping, Paman."

Gaharu menghela napas sambil geleng kepala. Kadang putri angkatnya itu memang nakal dan usil. Dia pun tak memanggilnya ayah dan tetap memanggilnya paman sejak Gaharu mengangkatnya sebagai anak.

"Aku rasa kau tahu kalau kau harus menjaga rahasia ini dengan baik, Anakku. Karena ini menyangkut nyawa satu keluarga."

Prasasti mengangguk dengan hati bimbang. Ia nampak ragu. "Paman..."

"Ya? Kenapa?"

Setelah berjuang mengatasi keraguannya dan menghela napas panjang, Prasasti tak kuasa lagi untuk tidak bertanya tentang kedua orang tamu pesanggrahan itu.

"Apakah Paman akan melindungi mereka? Dia orang yang paling dicari di seluruh Puranggahu sekarang."

"Aku tahu. Aku hanya dapat melakukan apa yang kujanjikan."

Dan Gaharu tidak memberikan penjelasan berikutnya. Sejujurnya Prasasti kecewa karenanya tapi dia tak mau mendesak ayah angkatnya lebih jauh. Lalu ia pun pamit dan pergi menuju biliknya di pondok yang paling dekat dengan pondok utama.

Malam sudah semakin tinggi. Dingin makin menggigit di bawah siraman cahaya purnama yang menerobos dinding bambu bilik Prasasti. Di luar kian sunyi. Hanya suara jangkrik dan burung malam sesekali terdengar di kejauhan. Gadis itu belum bisa memejamkan mata. Ia berbaring gelisah.

Apa yang tadi didengarnya di pondok utama sungguh mengganggunya. Ia teringat akan Ranggadewa yang tengah kesulitan mencari pemilik anak panah yang melukai Jayantaka. Dan tanpa diduga orang yang dicari kekasihnya itu datang sendiri padanya.

Prasasti tengah menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia memberitahu Ranggadewa atau tidak. Jika ia memberitahu Ranggadewa itu artinya ia sudah membantu kekasihnya menyelesaikan tugas dari ayahnya. Namun di sisi lain ia akan membahayakan ayahnya sendiri karena ayahnya telah berjanji melindungi orang itu.

Prasasti bingung sekaligus marah pada dirinya sendiri. Ia tak tahu harus berpihak pada siapa. Ayahnya ataukah kekasihnya? Ia bingung karena di pihak yang lain ada Prabu Jnanashiwa yang begitu menakutkan. Raja Puranggahu itu pasti akan membunuh siapapun yang telah melukai putranya. Bahkan siapapun yang berusaha melindunginya. Dan ayahnya sudah berjanji akan melindungi orang itu, orang yang telah memanah Jayantaka.

Siapa tadi namanya? Rasa ingin tahunya terusik. Ia mengingat-ingat lagi. Rasanya pemuda itu tidak memperkenalkan dirinya sewaktu di kedai tadi sore. Ia hanya mendengar temannya tadi menyebut namanya. Purnala. Ya, nama pemuda itu Purnala.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang