Dari kejauhan asap mula-mula tampak samar berbaur dengan kabut. Tak akan ada yang menyangka ada api yang menyala meretakkan setiap kayu penyangga, dinding pondok dan anyaman daun nipah yang dengan cepat dilalap menjadi abu.
Api makin membesar dihembus angin gunung yang dingin. Suara-suara keributan dan teriakan panik terdengar riuh. Api menjalar dari satu pondok ke pondok lain hingga kesemua pondok terbakar.
Dan tempat itu adalah pesanggrahan milik Resi Gaharu.
Beberapa murid padepokan tak sempat melarikan diri dan terpanggang dalam kobaran api. Sedangkan yang lain mencari selamat ke hutan sebelum disasar tombak dan anak panah.
Ketika Resi Jnanawidhi tiba di sana, yang tersisa hanyalah api. Suara gemeratak kayu basah dan desisan panas di tengah dinginnya pagi.
"Jagat Dewa Bathara. Apa-apaan ini?"
Resi tua itu sungguh terkejut. Tak percaya pada apa yang tampak di depan matanya. Ia datang ke gunung Kemulan untuk memenuhi amanat ibunya dan mendapati pesanggrahan telah terbakar.
Beberapa mayat tergeletak begitu saja di halaman. Lainnya terkubur dalam api. Resi Jnanawidhi mencari-cari di antara reruntuhan yang masih membara, diikuti oleh muridnya.
"Alanjung, cepat cari ayahmu."
"Baik, Guru."
Keduanya menerobos api menuju pondok utama. Tak ada yang tersisa kecuali gapura pesanggrahan yang karena terletak agak jauh yang tak ikut terlalap.
Benar-benar tak ada yang selamat. Semua telah menjadi mayat dan abu. Resi Jnanawidhi merasa tercabik-cabik. Ia memandang sekeliling, dan hanya nampak api saja. Satu persatu pondok roboh dalam bara.
Di tengah desis api yang kejam, ia mendengar rintihan. Resi Jnanawidhi menajamkan telinga mencari sumber suara. Ia bergerak setelah yakin sumber suara berasal dari arah yang benar. Arah api yang berkobar.
Orang tua itu melompati palang kayu besar yang tak berdaya tanpa kesulitan dan menemukan seseorang yang masih hidup. Tergeletak dengan kaki hangus di bawah tindihan penyangga atap.
"Warih?"
Lelaki itu terlihat mengenaskan. Resi Jnanawidhi berteriak memanggil muridnya. Keduanya lantas mengeluarkan Warih dari sana. Tangan kanan Resi Gaharu itu sudah sekarat ketika mereka membaringkannya di atas tanah dekat gapura.
"Apa yang terjadi, Warih?"
"Saya.....tak tahu, Maharesi. Tiba-tiba saja......beberapa orang datang..... membakar..... pesanggrahan," jawab Warih terbata-bata.
"Kau tahu siapa mereka?"
Warih menggeleng lemah. Kakinya terluka dan darahnya menghitam karena terbakar. Ia kesulitan bernapas.
"Dimana Gaharu?"
"Di....di sanggar....pamujan." Warih memejamkan mata. Merasa tak sanggup lagi bertahan di dalam raga tuanya.
"Warih.....Warih," panggil sang maharesi. "Bertahanlah. Akan kucarikan tabib. Alanjung, temukan ayahmu, cepat."
Sang murid mengangguk dan bergegas kembali menerobos api. Sanggar pamujan ada di belakang pondok utama yang telah roboh dalam bara. Resi Jnanawidhi memandangnya dengan hati kecut.
"Maharesi," Warih tersengal. "Tolong... larungkan saya....di sungai....Sumilir."
"Warih..."
Dan akhirnya tangan kanan Resi Gaharu itu pun melepaskan raganya. Sukmanya melayang mendaki langit kelabu di atas Kemulan.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Ficțiune istorică"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...