"Dia belum sadar?" tanya Prasasti begitu ia masuk ke bilik ayahnya. Semalam ia menyuruh Darupalla membawa Ranggadewa untuk beristirahat di sana.
Darupalla menggeleng. "Belum." Nadanya khawatir. Prasasti tahu itu. Bagaimanapun juga ia adalah pengawal seorang Putra Mahkota, pewaris tahta yang harus dilindungi bagaimanapun keadaannya. Ia merasa gagal jadi pengawal melihat Ranggadewa terbaring tak sadarkan diri sejak kemarin petang.
Prasasti memeriksa nadi Ranggadewa. Denyutannya ada. Setidaknya tidak selemah kemarin atau tadi malam. Ia sudah menggunakan hingga sepuluh lintah untuk menghisap racun ular yang mengalir ke seluruh pembuluh darah Ranggadewa. Lalu meminumkan ramuan penawarnya dengan susah payah dibantu Darupalla.
Setahunya selama ini ramuan yang dibuatnya cukup manjur menawarkan racun ular. Namun sepertinya kasusnya kali ini lebih rumit dan berbeda. Ranggadewa menunjukkan perkembangan yang lambat.
"Dia masih hidup. Kau jangan kuatir, Palla."
Pengawal itu hanya mengangguk. Prasasti mendesah. Otaknya bekerja keras. Dia memikirkan lagi apa yang salah dengan pengobatannya ataukah memang racun itu lebih berbahaya dari dugaannya.
"Aku akan keluar sebentar."
Tanpa menunggu sahutan Prasasti bergegas keluar bilik dan menuju halaman. Kemudian dia berlari menuju hutan di seberang sungai dekat rumahnya. Seingatnya ia pernah melihat disana satu tanaman merambat yang dapat ia gunakan untuk menawarkan racun ular.
Ia berlari menerobos hutan yang lebat dan dingin. Udara lembab dengan angin pagi yang menusuk tulang seolah tak berarti apa-apa baginya. Embun belum pergi dari telapak daun-daun menyebabkan baju Prasasti lama-lama basah karena sering menyapunya saat berlari menerobos lebatnya semak. Ia mendongak memastikan arah lalu berbelok ke kanan ke arah hulu sungai. Berhenti dengan napas terengah-engah. Pandangannya beredar ke sekeliling waspada, meneliti satu per satu tanaman disana. Matanya berbinar saat melihat lilitan akar berduri berwarna hijau gelap menggantung tak jauh di depannya. Ia bergerak ke sana.
"Ini dia akar seruntun," gumamnya senang. Ia segera menebasnya dengan pisau, mengambil sepanjang lengannya lalu bergegas pulang.
Begitu sampai rumah ia membawa akar itu ke dapur. Menumbuknya jadi halus dan memerasnya. Airnya ia tampung dalam wadah batok kelapa. Kemudian dibawanya ke bilik ayahnya.
Darupalla menoleh begitu ia masuk. "Syukurlah kau cepat kembali, Prasasti."
"Ada yang terjadi?"
"Ia sempat kejang sebentar tadi. Lalu tidur lagi."
"Kau melakukan sesuatu?" Prasasti meletakkan cawan di samping tubuh Ranggadewa.
"Tidak."
"Bantu aku meminumkan ini."
Darupalla mengangguk cepat dan dengan sigap mengangkat kepala Ranggadewa, menopang dengan lengan kokohnya. Ia memperhatikan Prasasti dengan seksama saat gadis itu dengan hati-hati membuka sedikit mulut Ranggadewa dan meminumkan air dari akar seruntun itu padanya.
"Sedikit lagi," katanya. Tak banyak yang berhasil diminumkannya pada Ranggadewa.
Darupalla kembali meletakkan kepala tuannya ke bantal. Ia mengikuti Prasasti memperhatikan pangeran itu dengan seksama. Matanya masih terpejam, wajahnya juga masih sedikit biru walaupun tak sepekat kemarin.
Dan kemudian ada gerakan di bawah kelopak matanya. Ranggadewa mulai sadar. Perlahan Ranggadewa mengerjap sebelum membuka mata dengan sempurna.
"Puji Dewata Agung, akhirnya Raden sadar."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...