Bab XLVI

1.4K 176 14
                                    

Dhyanindita berseru tak percaya pada dayangnya. "Benarkah itu, dayang? Kanda Jayantaka sudah kembali?"

Dayang gemuk itu mengangguk penuh semangat. Ia tersenyum lebar ketika Dhyanindhita bergegas keluar dari bilik keputrennya menuju kedaton. Para dayang sampai kewalahan mengikuti langkah sang putri.

Sepanjang jalan gadis cantik itu terus berharap akan mendapat kabar baik. Ia berharap kakaknya akan mengatakan padanya bahwa gurunya selamat dan baik-baik saja. Dan semoga ayahnya tidak tahu tentang penyelamatan itu.

Langkahnya begitu ringan ketika memasuki halaman kedaton. Ia berbelok ke kanan dan melihat sosok Jayantaka di kejauhan, berdiri di bawah tangga istana. Dhyanindhita bergegas menghampirinya.

"Kanda Jayantaka."

Detik berikutnya putri Jnanashiwa menjerit ketakutan. Ia berpaling ke arah taman sambil menutup wajahnya. Tubuhnya menggigil dan bibirnya gemetaran.

Jayantaka terkejut oleh jeritan adiknya. Namun ia lebih terkejut dengan apa yang membuat Dhyanindhita sampai memekik ketakutan.

Sebuah kepala dengan darah segar menggelinding jatuh ke kakinya.

******

Patih Ragawa membeku di tempatnya ketika melihat Yvaraja Ranggadewa menyeret Prasasti masuk ke istana.

Ia sampai tak percaya pada penglihatannya. Prajurit yang diutusnya telah melaporkan bahwa mereka sudah membakar pondok Prasasti. Lalu bagaimana caranya pangeran itu bisa menemukannya dalam keadaan hidup dan berhasil membawanya ke istana? Laki-laki tua itu menelan ludahnya pahit.

"Hamba menghadap, Ayahanda Prabu."

Aura di istana langsung berubah mengerikan. Bahkan sebelum bicara, kemurkaan Prabu Jnanashiwa sudah bisa dirasakan oleh semua orang yang saat itu berada di dalam kedaton.

Jnanashiwa memandang Prasasti seperti melihat ikan yang menggelepar di daratan. Ia tak akan sudi mengembalikannya ke dalam air. Ikan yang telah keluar dari air adalah ikan yang ditakdirkan untuk mati dan dijadikan santapan.

"Kau dhemit kecil, berani sekali kau menampakkan diri di istanaku. Kau menantangku, hah?"

Tidak ada yang berani menghembuskan napas ketika sang raja benar-benar murka. Mereka bertahan hidup dengan napas yang ada di dada mereka saja.

Bahkan seorang Ragawa yang disegani pun sampai menahan napasnya. Kali ini bukan karena murkanya sang raja melainkan karena kegagalannya.

"Ragawa, panggil prajuritmu sekarang juga!"

"Hamba, Gusti Prabu."

Patih yang bersahaja itu mengangkat tangannya dan seorang pengawalnya bergegas keluar. Ia kembali tak lama kemudian bersama prajurit yang ditugaskan pergi ke gunung Kemulan.

Kesepuluh prajurit itu duduk bersimpuh menunggu hukuman. Tubuh mereka semua tegang, berharap ampunan yang tak mungkin mereka dapatkan.

"Beraninya kalian semua menipuku. Apa kalian sengaja cari mati?"

Jnanashiwa meledak seketika. "Kau bilang sudah membakar pondoknya. Lihat! Anak itu masih bernapas di depan mata kalian. Apa yang sudah kalian kerjakan disana, hah?"

Para prajurit yang gagah berani di medan laga pun sampai menggigil jika melihat rajanya murka. Kegagalan menjalankan titah raja sama artinya menjemput kematiannya sendiri.

"Siapa pemimpin kalian?" Jnanashiwa sudah bangkit dari singhasananya.

"Hamba, Gusti Prabu." Seorang prajurit yang bersila di ujung kiri menghaturkan sembah.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang