Hujan turun sepanjang sore. Matahari pulang lebih awal ke peraduannya di balik cakrawala. Malam datang tanpa diketahui siapapun. Tanpa bintang ataupun bulan.
Langit Purana terlihat kelam tanpa ada tanda-tanda berhenti menumpahkan air ke wajah bumi. Gelap gulita. Binatang malam tak berani keluar atau bahkan bersuara.
Dua sosok bayangan terpaku di bawah pohon bramastana tak jauh di seberang gapura selatan kutaraja. Menghadap ke arah kedaton Purana yang tersiram derasnya hujan.
"Kau yakin akan menemuinya?"
Seseorang bersuara. Salah satu dari dua sosok itu. Air hujan tak mengenai tubuhnya. Ia tak memakai caping atau pelindung apapun. Kekuatannya mampu menepikan serbuan hujan yang kejam hingga tak setitikpun mengenai tubuhnya.
"Aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku tak akan tenang jika belum mendapat jawabannya."
Sahutan itu adalah suara perempuan. Lembut namun tegas. Suaranya terdengar seperti ambisi panjang yang belum usai. Ia bicara dari balik cadar meskipun saat itu begitu gelap hingga tak seorangpun dapat melihat rupa wajahnya.
"Kau belum menyerah."
Petir menggelegar di atas mereka. Kilat membelah langit dengan cahaya terang, merambat cepat bagaikan akar panjang yang menakutkan.
"Kau seperti tidak mengenalku saja, Kakang Upa."
Lelaki itu mendesah. "Sebaiknya kau cepat pulang. Bawalah anakmu dan lupakan semua ini."
"Jangan coba melemahkanku, Kakang." Bantahnya tajam.
Lelaki itu menoleh pada perempuan di samping kirinya sementara perempuan itu bergeming menatap hujan. Entah apa yang ada di kepalanya.
"Justru aku mengkhawatirkanmu. Puranggahu berbahaya bagimu. Aku tidak ingin kau celaka disini."
"Lagi-lagi kau tak percaya padaku."
Sergahnya bernada jengkel."Aku percaya padamu. Tapi rasanya ingin aku membunuhnya tanpa membuang waktu seperti ini. Persetan dengan kebenaran. Aku yakin dia ada di balik semua ini."
Perempuan itu menggeleng. "Yang kuperlukan adalah bukti. Atau sebuah pengakuan. Supaya hatiku merasa tenang."
Lelaki itu terdiam. Ia merasa tak akan menang dalam perdebatan ini. Perempuan di sampingnya begitu keras hati. Dan juga keras kepala. Dia hanya akan mendengarkan kata hatinya sendiri. Dia tak peduli jika pilihannya berbahaya bagi dirinya.
"Bagaimana dengan anak itu?"
"Dia tak ada di dalam pondoknya."
"Dan kau tidak mengkhawatirkannya?"
Ada jeda beberapa saat. Suara hujan menyela pembicaraan mereka. "Bisakah kau mencarinya sementara aku disini?"
"Baiklah jika itu maumu, Putri. Jaga dirimu."
Perempuan itu mengangguk dan bayangan lelaki itu hilang dalam sekelip mata. Ia memejamkan mata. Jari jemarinya bertaut di depan dada. Melenyapkan diri dalam rasa dan memanggil seseorang dengan kekuatan batinnya.
*******
Prasasti memeluk dirinya sendiri dalam upayanya bertahan dari serbuan dingin air hujan. Ia memperhatikan Gayatri yang belum selesai membersihkan meja terakhir di kedainya. Mereka tutup lebih awal karena hujan datang dan percaya tak akan ada lagi yang datang.
Gayatri menoleh terkejut pada kalimat terakhir penuturan Prasasti.
"Dia siapa? Yuwaraja katamu?"
![](https://img.wattpad.com/cover/24705172-288-k92260.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
أدب تاريخي"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...