Bab LXII

1.3K 138 24
                                    

Jayantaka tidak dapat tidur malam itu.

Ia keluar dari biliknya diam-diam agar tidak membangunkan istrinya yang sudah terlelap. Halaman ksatriannya terang benderang oleh cahaya sasadara. Ia menyelinap ke sana, duduk di atas batu di dekat petirtaan.

Sekira satu purnama yang lalu ia berhasil membujuk Raja Jnanaloka untuk kembali ke Purana setelah sepekan yang sia-sia di Soka.

Bahkan ia pun akhirnya tidak mampu berbuat apa-apa. Usahanya menceburkan diri ke laut dan mengubah dirinya menjadi ikan juga tidak berhasil menemukan Prasasti.

Ia kecewa pada dirinya sendiri. Entah bagaimana ia sungguh yakin bahwa Prasasti adalah putri pamannya, yang artinya adalah sepupunya sendiri. Bukan hanya sekedar teman seperti selama ini. Dan ia gagal menolongnya.

Tentang Jnanaloka, ia tidak pernah menganggap bahwa alasannya menemukan Prasasti adalah demi melindungi tahtanya sebagai alasan yang masuk akal. Ia menganggap Jnanaloka hanya mengada-ada.

"Terserah padamu. Aku tidak perlu memberimu penjelasan apapun."

"Bagaimana Prasasti akan melindungi tahtamu?" kejarnya penasaran.

Jnanaloka terdiam. Pandangannya tertuju pada bayangan matahari yang bergetar di permukaan air.

Haruskah ia bicara yang sebenarnya? Ataukah ia harus mengatakan sebaliknya? Ia berpaling sekilas pada Jayantaka lalu kembali membuang muka seraya menghela napas berat.

"Aku punya perjanjian dengan Nenek Niskala." Apa boleh buat, Jayantaka secara halus telah mendesaknya bicara.

"Jika aku ingin tetap menduduki tahta Puranggahu, maka aku harus menikah dengan Prasasti."

Jawaban yang membuat Jayantaka menautkan alis.

"Mendiang Ayahanda Prabu hanyalah raja pengganti," sambung Jnanaloka pahit. "Yang seharusnya naik tahta saat itu adalah putra Nenek Niskala, sang pengkhianat itu."

"Apa kau percaya?"

"Kau sendiri?" Jnanaloka tersenyum masam ketika Jayantaka berbalik menanyainya.

"Nenek tua itu mungkin sudah menyihirku. Ia mungkin menggunakan mantra saat bicara denganku sehingga aku menurut saja apa katanya."

Jayantaka tertawa. Ia makin keras tertawa saat adiknya melemparnya dengan pandangan kesal.

"Diam kau!"

Perlu sedikit usaha untuk tidak berpikir bahwa Jnanaloka tengah membuat lelucon. Melihat betapa keruhnya air muka sang raja, Jayantaka menganggap adiknya memang bersungguh-sungguh.

Ia memang mudah terpengaruh. Jiwa bebasnya bergerak laksana bayu. Ia bisa menabrak apapun dan hinggap di manapun.

"Jadi, dia memang adalah pewaris tahta?"

Bahwasanya Prasasti adalah sepupunya, Jayantaka tidak ada keraguan. Namun perihal sang ayah yang hanyalah menggantikan raja secara tidak sengaja, ia sungguh tidak tahu. Kejadian itu berlangsung ketika ia masih bayi.

Jnanaloka tidak menjawab.

"Itu sebabnya Nenek menyuruhmu...."

"Cukup!" Sergah Jnanaloka cepat. "Sekarang, cari dia sampai dapat."

Tidak ada yang pernah meragukan seorang Niskala Ratu. Ia telah mendampingi ayah Jnanashiwa bahkan sebelum raja itu lahir. Ia yang menyelamatkan kakek Jnanaloka dari bahaya di hutan yang penuh siluman.

Ia juga yang menyembuhkan Hanu Caitra dari teluh yang ganas. Meskipun latar belakangnya cukup sederhana sebagai putri rama dari Padwaksa, ia menjadi pilihan kakek Jnanaloka sebagai pendampingnya karena kemampuannya yang luar biasa.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang