Gapura besar yang berukir makara dan sulur tanaman itu dijaga dua prajurit bertombak yang langsung membungkuk hormat ketika Jayantaka memasukinya. Pangeran itu melangkah dengan gayanya yang begitu aristokrat setelah menyerahkan kuda putihnya pada seorang pekatik.
Melewati taman sari yang luas dan tertata indah, tak kalah dari istana Sang Prabu Jnanashiwa. Dalam hati ia mengagumi selera Ragawa. Dia tahu Patih sekaligus paman kesayangannya itu yang mengatur semuanya dengan sempurna. Jayantaka mengedarkan pandang ke sekeliling dan tersenyum. Beberapa prajurit peronda keamanan membungkuk dan menyatukan kedua telapak tangannya di dada saat berpapasan dengannya. Dia membalasnya dengan anggukan yang sopan.
Taman ini begitu luas dan asri. Berbagai tanaman bunga tumbuh dengan suburnya. Jayantaka terpesona. Langkahnya terseret mengikuti suara gemericik air yang syahdu. Tak bosan ia melihat sekeliling yang penuh warna. Keindahannya bagai nirwana membuat taman istana Purana memiliki saingan berat. Ia tersenyum. Bagaimanapun juga taman ini juga jadi tempat bermainnya dulu saat masih kecil. Ragawa sang Patih Puranggahu yang juga adalah pamannya sering mengajaknya bermain di taman ini. Melatihnya bermain pedang di lapangan sebelah kiri taman dan berkuda menuju ke luar kedaton kepatihan. Lagi-lagi Jayantaka tersenyum mengingat semuanya. Itu sudah lama. Entah sudah berapa purnama berlalu.
Sekarang sambil mengenang masa kecilnya ia menapakkan kakinya satu persatu mengikuti angin. Dari bunga mawar merah di depannya pandangannya beralih pada bunga puspanyidra yang baru mekar. Lalu entah kembang apa yang berwarna jambon, dan bunga teratai yang terapung di parit kecil. Dan....kain kuning yang menjuntai di atas bebatuan. Pandangannya terhenti disana.
Jayantaka terpaku. Masih dirasanya segala keindahan taman sari di sanubarinya. Apalagi jika ada seorang bidadari disana. Lihatlah, bahkan bidadari pun menyukai taman sari di kedaton ini. Benar-benar sempurna andai saja senyum sang bidadari terkembang disana.
Sayangnya tidak. Satu hal yang membuat pangeran itu heran. Keningnya sedikit berkerut. Ada tanya dalam sorot matanya. Kenapa bidadari berbaju kuning itu tidak tersenyum? Wajahnya yang jelita terlihat mendung. Matanya tak memancarkan cahaya.
Ia tengah melamun? Ataukah bersedih? Sepertinya yang kedua itu lebih pas menggambarkan raut wajahnya. Seorang apsari sendirian dan murung di tengah taman yang berseri. Sungguh tidak patut. Jayantaka menggeleng cepat. Bukan kesedihan itu yang tak patut melainkan dirinyalah yang tak patut. Mengagumi kecantikan seorang gadis yang sendirian seperti itu. Walaupun kehadirannya tak disadari oleh apsari jelita disana, ia merasa tak sopan telah melangkah sejauh ini ke tempat yang tidak seharusnya. Lalu ia pun membalikkan badan, bergegas pergi dari sana sebelum ada orang lain yang melihatnya dan dicap tidak sopan.
Jayantaka menuju bangunan paling besar dengan tiang-tiang penyangga yang berukir beratap daun nipah yang tersusun rapi. Undakannya tak sampai sepuluh langkah. Dua penjaga di depan pintu menyembah hormat padanya dan membukakan pintu jati besar nan tinggi. Ia melangkah masuk ke ruangan depan yang luas, lantainya sejuk dan mengkilat.
Rupanya Ragawa sudah tahu kedatangannya. Lelaki paruh baya yang tampak berwibawa itu menunggunya di kursi besar di tengah ruang . Ia bangkit menyambut pangeran itu dan mempersilakannya duduk sebelum dia pun duduk kembali ke kursinya. Senyumnya yang tenang mengembang di bibirnya.
"Saya senang sekali Raden berkunjung kemari. Sudah lama sekali Raden tidak pernah datang.".
Ia mengangkat tangan pada para dayang yang menunduk hormat setelah menata hidangan di meja, menyuruh mereka pergi.
Jayantaka ikut tersenyum. "Paman benar." Ia menunduk sekejap lalu kembali memandang Ragawa. "Saya terlalu sibuk belajar di pesanggrahan. Berlatih kanuragan dan berburu."
Ragawa memakluminya. "Tidak apa-apa, Raden. Apakah gerangan yang membawa Raden kemari?"
Untuk itu Jayantaka sibuk menata hatinya beberapa saat. Sejujurnya ia masih terkejut akan keputusan, atau lebih tepatnya perintah, dari Sang Prabu. Pertanyaan Ragawa membuatnya sedikit gugup.
"Saya kemari bermaksud menyampaikan persetujuan saya, Paman. Saya sudah setuju untuk menikah dengan putri Paman."
Ragawa mendesah lega. Jawaban itulah yang diharapkannya. Beberapa waktu yang lalu, setelah peristiwa hukuman mati Purnala di alun-alun, Prabu Jnanashiwa mengajaknya bicara tentang Jayantaka dan putrinya. Ide tentang perjodohan itu Jnanashiwa sendiri yang mencetuskannya pertama kali. Dan tidak ada alasan bagi Ragawa untuk menolaknya. Putrinya sudah tumbuh jadi gadis yang cantik dan anggun, dan pantas mendampingi pangeran tampan seperti Jayantaka.
Ia langsung menerimanya saat itu. Apalagi ia tahu Jnanashiwa tidak akan suka penolakan. Tapi bukan itu alasannya. Sebagai ayah, ia merasa harus tegas menentukan masa depan anak gadisnya. Dan ia bersyukur seorang Jayantaka-lah yang dipilihkan Dewata untuk putrinya. Ia mengenal pangeran itu sejak kecil dan bisa dibilang ikut mengasuhnya. Jadi pilihannya menerima Jayantaka adalah keputusan yang benar.
Ragawa tersenyum lebih lebar. "Terima kasih, Raden. Saya sangat menghargai kedatangan Raden untuk menyampaikan hal ini secara langsung."
"Ayahanda yang meminta saya menemui Paman sendiri."
Ragawa mengangguk pelan. "Ya. Terima kasih mau repot-repot menemui saya, Raden."
Cepat-cepat Jayantaka menggeleng. "Tidak, Paman. Tidak sama sekali. Dan," sejenak ia ragu. Entah kenapa ia teringat pada bidadari cantik berbaju kuning di taman bunga tadi. Ia sadar ia tertarik padanya. Tapi ia sudah memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Digebahnya pikiran itu segera. "....apakah saya boleh melihat calon istri saya?"
Jayantaka mengucapkan kata calon istri dengan susah payah. Ia sendiri tak tahu kenapa. Ia masih muda dan tak pernah mengenal gadis manapun selain adiknya, Galuh Dhyanindhita, lalu tiba-tiba disuruh menikah.
Dilihatnya wajah Ragawa yang tersenyum geli melihatnya. Jayantaka menyembunyikan kegugupannya dengan ikut tersenyum.
"Tentu saja, Raden."
Ragawa melambaikan tangan dan seorang dayang menghampirinya. Ia menyuruhnya memanggil putrinya. Dayang itu segera pergi sambil terbungkuk-bungkuk.
Selama menunggu kedatangan sang putri, Jayantaka sibuk menata hati dan pikirannya yang tak karuan. Ragawa mengajaknya bicara dan ia menanggapinya dengan perhatian terpecah. Untung saja Ragawa tak mencurigai kegelisahannya.
Tak lama kemudian yang ditunggu pun datang. Ragawa melambaikan tangan agar putrinya mendekat. Dan gadis itu pun menuruti perintah ayahnya, mendekat ke arah ayahnya yang duduk bersama seorang pemuda berpakaian bagus yang membelakanginya.
"Putriku, ini adalah Raden Jayantaka. Calon suamimu." Kata Ragawa pada putrinya yang masih berdiri sambil menundukkan wajah. Lalu ia berkata pada Jayantaka. "Raden, ini putri saya, calon istri Raden. Namanya Laksmidara."
Jayantaka menoleh ke arah gadis yang berdiri di samping Ragawa. Ia tercekat. Bidadari berbaju kuning....
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...