Sejujurnya Jnanaloka masih tidak begitu yakin perempuan bunian itu adalah ibu Prasasti. Karena jika benar, maka gadis itu juga seorang bunian. Atau setengah bunian karena ayahnya adalah seorang manusia.
Nenek Niskala tidak pernah memberitahu siapa ibu Prasasti. Ia hanya mengatakan bahwa ayahnya adalah putra semata wayangnya.
Selama ini gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia keturunan bunian. Darupalla mengatakan Prasasti bisa memunculkan lintah dari telapak tangannya untuk mengobati orang lain, namun itu bukanlah suatu bukti mutlak bahwa kekasihnya adalah bunian.
Ia hanya merasa bahwa semua itu tidak benar.
"Siapa namamu, bunian?"
"Kurang ajar kau. Berani sekali kau menanyakan namaku."
Jnanaloka menyeringai sinis melihat mata perempuan bunian yang cantik itu berkilat penuh amarah.
"Katakan!"
"Jangan pernah memerintahku, manusia!"
Perempuan itu tak kalah garang menghardik Jnanaloka.
Keduanya membiarkan energi kemarahan mengaliri darah masing-masing. Kebencian antara manusia dan bunian saling tarik-menarik dengan begitu kuat hingga pikiran mereka tidak mampu lagi menampungnya.
Jnanaloka tahu perempuan itu bisa menyerangnya kapan saja, jadi ia tak membuang waktu lagi dan menyiapkan jurusnya.
Ia menentang mata sang bunian dan menyerap segala kemarahan yang terpancar darinya, membakar dirinya dengan energi yang sama, dan mengumpulkannya di telapak tangannya yang hangat.
Di saat yang sama perempuan itu memusatkan pikirannya, pikiran yang berasal dari kuasa gelapnya, membakarnya di ujung kepala dan siap diluncurkan lewat mata cantiknya yang buas.
Rembulan yang tengah purnama menyaksikan mereka dalam diam. Ia bersinar terang untuk mereka dan berharap mega tidak terpancing datang.
Putri malam itu tidak tahu jika kedua makhluk yang tengah diteranginya itu semakin panas oleh kekuatan masing-masing. Hingga akhirnya keduanya bergerak cepat saling menyerang.
Benturan yang terjadi sungguh luar biasa. Oleh besarnya tenaga dalam yang dikeluarkan, keduanya terpental hingga puluhan depa. Tanah di sekeliling mereka berguncang hebat laksana terkena lindu.
Jnanaloka kurang beruntung. Serangan perempuan bunian itu sempat mengenainya. Ia tersengat panas dan mengerang seketika. Ia harus berguling puluhan kali untuk meredakan panas di tubuhnya.
"Dasar dhemit."
Raja Puranggahu itu memaki sambil menyeka darah dari mulutnya. Mencoba tegak kembali dengan sedikit terhuyung sementara matanya nanar mencari sosok lawannya di keremangan.
Dari bawah bayangan bramastana yang menjulang rimbun sosok yang dicarinya muncul. Gerakannya halus namun cepat. Dan secara menakjubkan ia sama sekali tidak terluka.
"Itu saja kemampuanmu?" Ejeknya sinis. Sebagai perempuan, ia terlihat garang secara berlebihan. Seolah seluruh hidupnya hanya diisi oleh kemarahan.
Jnanaloka masih menata napasnya yang sedikit terengah. Ia menggunakan cukup banyak tenaga karena ingin langsung menyingkirkan perempuan bunian itu secepatnya. Namun alih-alih berhasil, ia malah mendapat serangan yang tak kalah sengit.
"Aku tidak bertarung dengan perempuan, bunian. Enyahlah dari sini."
"Jangan meremehkan aku, bocah. Kau tidak akan kulepaskan."
Gerakannya seperti petir yang datang tanpa memberi aba-aba. Perempuan itu sudah melesat ke arah Jnanaloka beserta jurus mematikan andalannya.
Meski sudah mendengar jelas saat perempuan itu mulai bergerak namun Jnanaloka kesulitan melihat sosoknya karena ia memiliki kecepatan yang luar biasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...