Bab XIV

2.8K 291 3
                                    

Senja sudah turun di Lumpring. Cahaya matahari tak lagi garang dan terik. Bola merah di langit barat laksana mata raksasa yang marah pada dunia terlihat di antara celah pepohonan di depan kedai. Gayatri masih sibuk melayani para pengunjung yang datang ke kedainya hari itu. Ayahnya pun sibuk. Hari ini sungguh melelahkan. Melayani banyak orang dengan berbagai pesanan.

Ia melenguh menyeka keringat di dahinya. Rasanya amat lelah. Ia pun menyingkir ke belakang, ke meja dapur yang berdinding separuh dimana ia masih bisa melihat ke dalam kedai yang masih ramai sesore ini. Ia duduk di sana dan pandangannya terhenti pada seorang pengunjung kedai yang sendirian di sudut. Orang itu sudah sejak siang di sana. Memesan sepiring makanan yang langsung dihabiskannya dan tak beranjak dari tempatnya hingga sekarang. Sudah beberapa kendi tuak ia habiskan. Berkali-kali ia berteriak meminta tuak lagi jika kendinya sudah kosong.

Gayatri heran. Sudah mabuk pun masih saja minta tuak lagi. Ia ingin menolak tapi ayahnya memaksanya agar memberi apa yang diinginkan orang itu. Ayahnya berkata semua orang yang datang harus dilayani tanpa membantah.

"Beri aku tuak lagi!"

Nah, belum habis Gayatri berpikir orang itu sudah berteriak lagi. Entah untuk ke berapa kali. Dengan malas Gayatri beranjak dari tempatnya, menyambar sebuah kendi tanah liat yang masih penuh isinya dan membawanya pada orang itu.

"Ini, Tuan." Gayatri meletakkan kendi di meja sambil mengamati orang itu dengan sedikit takut sekaligus terpesona.

Ia takut sebab orang mabuk biasanya suka marah-marah tak jelas dan mudah tersinggung bahkan hanya karena hal remeh sekalipun. Dan jelas orang itu sudah mabuk. Wajahnya memerah. Matanya pun memerah dan hampir tertutup. Pandangannya sudah kabur. Orang itu menyambar kendi yang baru diletakkannya dan meminum isinya langsung seperti orang kehausan. Ia begitu tergesa-gesa hingga sebagian tuak itu keluar dari mulutnya.

Demi Dewata yang Agung, orang ini sungguh menawan. Bahkan dengan penampilannya yang kusut seperti itu pun masih saja mempesona. Gayatri menelan ludah. Tamunya yang satu ini memang sungguh istimewa. Bukan saja ia sangat tampan layaknya Dewa Kamajaya tapi ia juga kuat minum. Itu hal yang menyebalkan, setidaknya bagi Gayatri. Ia tak suka orang yang suka minum arak dan mabuk di depannya. Namun pemuda di depannya itu sanggup menenggak tuak sedemikian banyak dan belum tumbang.

Pemuda itu pasti bukan orang kebanyakan, pikir Gayatri. Dilihat dari wajah coklatnya yang bersih dan rupawan. Pakaiannya yang bagus dan halus, mungkin terbuat dari sutra. Dan seingat Gayatri tadi ia membawa kuda yang gagah seperti milik para bangsawan.

Tanpa disangka pemuda itu memandangnya, membuat Gayatri terkejut karena baru saja sibuk menilainya. Cepat-cepat ia melemparkan pandangan meminta maaf padanya.

Pemuda itu mendengus. Wajahnya makin kuyu. Ia mengambil buntalan kecil dari pinggangnya dan meletakkannya di meja dengan kasar. "Ini, untuk membayar semuanya." Desisnya setengah marah. Kemudian dia beranjak dari duduknya dan pergi begitu saja.

Gayatri masih termangu memandangi kantong kecil yang diberikan pemuda itu. Itu uang. Uang yang cukup banyak. Dan ketika ia melihat isinya, matanya terbelalak. Semuanya uang keping emas. Banyak sekali. Mulutnya ternganga, tak menyangka orang itu akan membayar berkali-kali lipat dari yang seharusnya. Ia tak percaya akan seberuntung ini. Dilihatnya pemuda itu sudah meninggalkan kedainya, menunggangi kuda hitamnya dengan sedikit terbungkuk. Tubuhnya terguncang dibawa binatang kekar itu menjemput malam.

Dengan cepat Gayatri mengepit kantong uang emas itu ke dadanya. Lalu membawanya masuk ke belakang beserta kendi yang tinggal sedikit isi di dalamnya.

Ayahnya tengah berada di dapur menyiapkan pesanan. Dihampirinya lelaki tua itu.

"Ayah, lihat ini." Gayatri menunjukkan kantong kecil dan memperlihatkan isinya. Ayahnya pun ikut melotot tak percaya.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang