Bab I

15K 872 11
                                    

Dia berjalan mengendap-endap berusaha tanpa suara sambil matanya tertuju pada buruannya. Dalam jarak lima puluh depa kawanan kijang tengah menikmati makan siang di bawah kerindangan pohon maja. Seekor kijang berukuran sedang, warna kulitnya coklat berkilau tertimpa cahaya matahari tampak berlari menghampiri kawanannya dan ikut berpesta rumput segar di sana. Sesekali mereka mengangkat kepala saling bicara dalam bahasa mereka ketika burung gagak melintas sambil mengaok panjang.

Dia pun ikut mendongak ke arah gagak itu terbang. Suaranya yang panjang dibawa angin seperti mengisyaratkan bahaya pada kawanan kijang di sana. Memberitahu bahwa seorang pemburu tengah mengintai mereka. Gagak itu membuatnya kesal sebentar lalu cepat-cepat dia beralih lagi pada buruannya. Setelah burung hitam itu menjauh dan suaranya tertelan angin, kawanan kijang itu tak terganggu lagi. Mereka tengah asyik di sana dan ini saat yang tepat membidik mangsa.

Diregangnya busurnya kuat-kuat. Matanya terpusat pada ujung anak panahnya, memastikannya lurus menuju sasaran. Kemudian dalam sekali hentak anak panahnya meluncur deras ke arah kawanan kijang itu. Gerakannya yang secepat kilat membuat angin tertusuk dan berdesir kuat membuat kawanan kijang terkejut dan secara naluri menghindar secepat yang mereka bisa. Seketika kawanan itu bubar. Berlari ke sembarang arah mencari selamat. Kecuali kijang yang berkulit mengkilat tadi. Hari ini hari naasnya. Panah sang pemburu telah menembus punggungnya sebelum dia sempat berlari seperti kawanannya. Dan dia pun rebah ke rumput dengan dengkingan rasa sakit yang menyayat.

"Kena kau!"  Pemburu itu terlonjak gembira  melihat anak panahnya mencapai sasaran dan seekor kijang rebah ke rerumputan. "Dhanu, aku dapat." Dia berteriak ke arah belakangnya dan tanpa menunggu jawaban bergegas menjemput  buruannya. Seekor kijang yang cukup gemuk. Sudah dibayangkan dia akan membawa hasil buruannya itu pulang dan berpesta malam ini bersama keluarganya. Seperti biasanya dia tak pernah gagal berburu dan selalu pulang dengan bangga.

Setengah berlari dia mendapatkan buruannya. Senyumnya mengembang melihat panahnya mencuat di antara rerumputan dimana buruannya rebah. Dan ketika sampai di sana, dia terbelalak kaget. Senyumnya hilang seketika. Jantungnya berdegup kencang. Dilihatnya panah itu masih menancap di sana. Bukan di punggung kijang, melainkan punggung manusia.

Dia sungguh terkejut. Rupanya kijang yang berhasil dipanahnya tadi kijang jelmaan. Dan yang menjelma jadi kijang itu adalah orang yang sangat dikenalnya.

"Ra...raden? Raden Jayantaka?"

Serunya hampir tak percaya. Korbannya tak lain adalah Jayantaka, putra raja sekaligus sahabatnya sendiri.

"Purnala...."  Jayantaka meringis menahan sakit. Anak panah itu menancap kuat dan dalam. Itu terlihat dari raut wajah Jayantaka yang tampak begitu kesakitan.

"Raden....saya tidak bermaksud....saya tidak tahu kalau...." Purnala tergagap disergap rasa bersalah yang teramat besar. Bukan saja dia telah melukai orang lain namun yang jadi korbannya adalah sahabatnya sendiri. Terlebih dia adalah seorang putra raja.

"Ini panahmu?" Jayantaka mengatupkan gerahamnya menahan rasa panas yang menyerang punggung hingga dadanya.

Purnala mengangguk penuh dosa. Hatinya terpukul oleh penyesalan.

"Maafkan saya, Raden. Saya...." Purnala tergugu tak tahu harus berbicara apa pada sahabat yang sangat dihormatinya itu. Dia jelas merasa amat bersalah.

"Bukan salahmu. Aku tidak.....hati-hati..... menggunakan ilmu.....malih rupa."

Oh, sepertinya Jayantaka telah menguasai ilmu itu dengan sempurna. Ilmu malih rupa yang memungkinkan seseorang bisa merubah diri jadi apapun yang dia mau. Tadi penyamarannya menjadi seekor kijang sangat sempurna. Diam-diam Purnala mengaguminya.

"Pergilah....."

"Apa, Raden? Pergi?" Ulangnya tak percaya.

"Ya. Cepat pergi sebelum ada yang tahu."

"Tapi, Raden...."

"Cepat." Jayantaka mengibaskan tangannya mengusir Purnala.

"Tidak. Saya telah melukai Raden."

"Kumohon pergilah. Sebelum ada yang tahu." Jayantaka menggeram. Punggungnya terasa panas dan sakit. Bajunya basah oleh darahnya sendiri.

Purnala memandangnya tak percaya. Jayantaka baru saja memutuskan menyelamatkannya. Dia tahu apa hukuman bagi orang yang melukai keluarga raja. Mati. Tidak ada hukuman lain. Raja Puranggahu, Prabu Jnanashiwa yang adalah ayahanda Jayantaka adalah raja yang kejam. Dia tak segan membunuh bayi sekalipun jika memang membuatnya murka.

Dan dirinya telah melukai sang putra raja. Tak dapat disangkal lagi, hukuman mati sedang menantinya disana walaupun dia melakukan itu tanpa sengaja.

"Purnala.....cepat pergi." Jayantaka tersengal. "Tidak akan....ada...yang tahu." Janjinya. Dan Purnala tahu sahabatnya itu tak pernah ingkar janji.

Dengan berat hati Purnala menuruti kemauan Jayantaka. Dia tahu sahabatnya sangat baik hati dan tak pernah menyimpan dendam. Dia orang yang berhati lurus.

"Maafkan saya, Raden."

Jayantaka mengangguk. Ada kelegaan ketika Purnala beranjak pergi dan menghilang di balik semak. Tak lama pengawalnya datang dan berseru terperanjat melihat tuannya rebah bersimbah darah.

"Raden, siapa yang melakukan ini?" tanya pengawal itu khawatir.

Alih-alih menjawab, Jayantaka justru memberi perintah. "Bawa aku pulang."

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang