Bab LXI

1.3K 166 12
                                    

Jnanaloka tergeletak memandang bintang-bintang. Menghitung jumlahnya tanpa pernah berhasil. Tubuhnya basah kuyup, ia bertahan untuk tidak menggigil setiap kali angin laut berhembus menampar kulitnya.

Benaknya dipenuhi oleh kegusaran. Amarah. Juga penyesalan. Ia sangat jengkel pada dirinya sendiri dan menyalahkan nenek Niskala untuk itu.

"Dengar, Anak Muda. Kau memang raja Puranggahu. Tapi aku memiliki pengaruh yang lebih besar di istana. Aku pasti jadi batu sandungan bagimu."

Nenek ini tidak mengesankan seorang yang cerewet. Ia dengan wibawanya yang semakin menua itulah yang mengganggu. Sangat mengganggu bagi Jnanaloka.

"Aku dengan sukarela akan melepas pengaruhku, Ananda Prabu. Asalkan kau juga memenuhi janjimu. Jika tidak, kau tidak akan menjadi raja. Ingatlah itu selama hidupmu."

Sebenarnya itu bukan hal sulit. Ia seorang raja. Ia bisa melakukan apapun. Ia bisa menginginkan apapun tanpa ada yang berani membantahnya.

Namun, kenyataannya, itu menjadi hal yang tidak mudah ketika Prasasti dengan kurang ajar menolaknya. Apakah dia tidak tahu ia akan dihukum pancung jika berani membantah sabda raja? Ataukah karena ia putri seorang resi sehingga berani mengabaikan raja? Karena ia memiliki kasta lebih tinggi?

Jnanaloka membanting kendi tuak untuk ketiga kalinya.

Ia memejam dan mengetatkan rahangnya. Kau tidak akan mengerti bagaimana rasanya harus menghadapi peperangan dengan diri sendiri.

Alangkah mudahnya jika gadis bodoh itu menurut saja dan tidak membuat kekacauan seperti ini. Di satu sisi ia akan dengan mudah melancarkan pengaruhnya dan di sisi lain ia bisa memiliki orang yang dicintainya.

Meskipun ia harus bertarung dengan sisi ketiga dimana ia harus menelan pil pahit karena memilih sang pengkhianat.

"Gusti...."

Namun keadaannya berbalik menjadi semakin rumit dengan penolakan Prasasti. Yang artinya adalah, pertama ia harus menghadapi Nenek Niskala, yang mana pastilah tidak semudah membalik telapak tangan.

Kedua, ia semakin sakit hati karena sang pengkhianat tidak berhasil ditaklukkannya.

Terakhir, harga dirinya sebagai raja terasa dicabik-cabik tanpa disadarinya. Ia sungguh paling marah karena itu.

Gadis itu pasti sedang sial karena saat ia di puncak kemarahan, ia tengah berhadapan dengannya.

Namun ia sama sekali tidak bermaksud untuk menjatuhkannya dari tebing. Baiklah, ia memojokkan Prasasti, hanya supaya gadis itu tunduk padanya. Bagaimanapun ialah yang berkuasa.

Ada sebersit keinginan untuk menakuti gadis itu walaupun tahu itu pasti tidak akan berhasil. Tapi siapa sangka ia mendapat perlawanan sehingga kehilangan kendali dan membuatnya jatuh ke laut?

Andai saja ia sehebat Jayantaka memalih rupa, ia pasti tidak akan terlambat.

Rasa hangat mengaliri kepala Jnanaloka. Ia ingat saat ia tanpa berpikir panjang ikut terjun ke laut, ia tenggelam sesaat ke dalam gulungan ombak besar dan menghantam karang. Kepalanya terluka dan masih berdarah hingga sekarang.

Ini sudah hari keenam.

Usahanya mencari Prasasti belum membuahkan hasil.

"Gusti Prabu."

Jnanaloka cukup kaget oleh panggilan Darupalla. Pengawalnya itu entah sejak kapan berada di sisinya, memandangnya prihatin.

"Kau menemukannya?"

Darupalla menggeleng. "Ampun, Gusti."

Jnanaloka bangkit dengan marah. "Sudah berhari-hari masih gagal juga?"

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang