Resi Gaharu baru kembali dari timur gunung setelah menyelesaikan tapa pati geninya. Ia terlihat lelah dan bersinar secara bersamaan. Murid-muridnya menyambutnya begitu ia tiba di pesanggrahan. Mereka gembira guru yang mereka hormati telah kembali setelah tak ada kabar lebih dari satu purnama.
Salah satu orang kepercayaannya, yang selalu ditugaskan menggantikannya bila ia tak ada tetap mendampinginya ketika semua murid yang lain telah bubar dan kembali ke pondok masing-masing. Malam sudah beranjak tinggi di lereng gunung Kemulan. Sunyi dan dingin berlomba kian menggigit.
"Jadi dia tak mengatakan apapun padamu?" Resi Gaharu memastikan laporan tangan kanannya tentang kedatangan putra mahkota Puranggahu ke pesanggrahan beberapa hari lalu.
"Tidak, Guru. Dia juga mencari Prasasti."
"Apa putriku ada?"
"Prasasti tidak ada di pesanggrahan. Saya katakan mungkin dia berada di Lumpring."
Resi Gaharu menghela napas panjang. Putrinya itu semakin besar semakin jarang pulang ke pesanggrahan. Ia lebih suka pulang ke Lumpring dimana ia tumbuh dan bermain dengan teman-temannya. Walaupun ia tahu teman Prasasti tak banyak dan selalu terlihat dengan orang yang sama saban kali. Anak pemilik kedai itu.
Dia sadar dirinya yang sudah setua itu tak lagi bisa mengawasi putrinya seperti dulu. Terlebih lagi sejak ia memimpin pesanggrahan. Makin lama muridnya kian banyak dan tanggung jawabnya kian besar sampai-sampai ia tak sadar ia jarang sekali bertemu Prasasti belakangan ini.
"Anak itu tidak pulang selama aku tak ada di sini?"
Muridnya tersenyum seraya menggeleng. "Seperti biasanya, Guru. Saya pun tidak bisa berbuat apa-apa."
Brahmana tua itu mendesah. Ia bukan tidak khawatir akan putrinya, namun ia tahu gadis itu mampu menjaga dirinya sendiri. Ia tidak hanya cantik tapi juga tangguh seperti ibunya.
"Aku akan mencarinya dan menyuruhnya pulang. Istirahatlah, Warih. Sudah lewat malam."
Resi Gaharu melambaikan tangan saat Warih berpamitan. Ia pun kemudian masuk ke biliknya dan mencoba tidur. Pikirannya dipenuhi banyak hal. Yang paling membuatnya penasaran tentu saja kedatangan putra mahkota Puranggahu ke pesanggrahan.
Sungguh ia bertanya-tanya maksud kedatangan pangeran itu. Pemuda pewaris tahta Puranggahu itu bukan muridnya. Berbeda dengan pangeran yang satu lagi, Jayantaka yang memang salah satu muridnya, kedatangan Ranggadewa tentu menimbulkan tanda tanya. Pangeran itu mencari dirinya sekaligus putrinya, ada urusan apa gerangan?
Tak habis pikir maka Resi Gaharu memutuskan untuk menemui pangeran itu di kedaton Purana. Tentu bukan hal yang sepele seorang putra raja sampai datang sendiri ke pesanggrahan. Dan rasa ingin tahu membawa sang Resi pula hingga ke istana. Maka disinilah ia. Di kedaton Purana.
Sang Prabu Jnanashiwa yang menemuinya di balairung. Pertemuan baru usai ketika sang Resi datang.
"Lihat siapa yang datang. Resi Gaharu." kata sang Prabu sumringah. "Lama kita tidak bertemu."
Resi Gaharu menyembah. "Ampun Gusti Prabu, hamba datang tiba-tiba."
Prabu Jnanashiwa mengibaskan tangannya cepat. "Tidak mengapa, Gaharu. Kau sudah begitu lama tak menginjakkan kaki di Purana. Apa yang membawamu kemari?"
Sekarang hanya tiga lelaki paruh baya di balairung agung Purana. Prabu Jnanashiwa, Patih Ragawa dan Resi Gaharu. Punggawa yang lain telah membubarkan diri setelah raja mendengar semua laporan. Tinggal para pengawal yang setia menunggu di dekat pintu. Pertemuan ketiganya seperti reuni yang tidak direncana.
Dulu mereka bertiga seperti saudara yang tak terpisahkan. Ketika Raden Aswadanu belum menjadi raja, mereka pergi berburu dan berperang bersama. Kadang kedua pangeran yang lain, Raden Seta dan Raden Kumba ikut serta.
Penaklukan Kerajaan Gangsingan di utara mungkin jadi akhir kebersamaan mereka. Gaharu memutuskan pergi dengan Raden Seta menjadi brahmana. Ragawa masih setia bersama Aswadanu. Hingga berita kematian Raden Kumba menggemparkan istana dan seluruh kerajaan Puranggahu. Karena peristiwa itu terjadi sebelum penobatannya menjadi raja Puranggahu menggantikan ayahandanya yang mangkat di medan perang. Kematiannya yang misterius diyakini karena ulah para bunian dari seberang yang mengganggunya.
Raden Seta dan Gaharu kembali ke Puranggahu untuk menghormati saudara dan sahabat yang mereka cintai. Namun Raden Seta tetap menolak menduduki tahta. Ia lebih memilih kehidupan sebagai brahmana dan menyepi ke timur. Dan tahta itu pun jatuh ke tangan Raden Aswadanu.
Delapan tahun kemudian ia memberikan ijin pada Gaharu mendirikan pesanggrahan di dukuh Pasetran dan mengukuhkannya sebagai guru besar di sana. Sedangkan kakak sulungnya, Raden Seta justru kembali menjauh ke Suwarnadwipa. Walaupun Aswadanu melarangnya karena titah leluhurnya yang tak boleh berhubungan dengan orang luar pulau namun apa daya ia pun tak dapat mencegah kepergian sang kakak.
Hanya tinggal ia dan Ragawa yang berada di istana menjalankan kekuasaan dan memegang kedaulatan Puranggahu. Gaharu terlalu sibuk mengurusi pesanggrahan hingga tiga tahun terakhir tak bersua dengannya. Dan sekarang disinilah ia. Menemui kedua teman baiknya. Teman masa mudanya dulu. Walaupun sebenarnya Gaharu lebih dekat dengan kakaknya daripada dirinya.
"Hamba mohon ampun lama tak menghadap Gusti Prabu. Hamba kesini karena Raden Ranggadewa tak dapat menemui hamba di pesanggrahan."
Jnanashiwa mengerutkan dahi. "Begitu? Kapan dia ke tempatmu?"
"Satu pekan yang lalu, Gusti. Saat itu hamba tak ada di tempat. Hamba tengah bersemadi di gua Andong," papar Gaharu sejujurnya.
"Hmmm....," sang raja manggut-manggut seraya mengusap dagunya. "Apa kau tahu kenapa dia datang mencarimu?"
"Tidak, Gusti. Karena itulah hamba kemari. Sebab menurut murid hamba, Raden Ranggadewa juga mencari putri hamba."
Jika kedatangannya karena ada kaitan dengan pemuda yang dihukum panah itu, biarlah aku menanggung resikonya. Batin Gaharu.
Sejenak Jnanashiwa melempar pandang pada Ragawa yang masih diam mendengarkan saja. Patih itu hanya mengangguk kecil dan Jnanashiwa kembali beralih pada Gaharu. "Gaharu, apa kau tahu kalau putraku berhubungan dengan putrimu?"
Gaharu mendongak. Ia mengerjap. "Hamba tahu mereka saling kenal."
Tapi entah sedekat apa, Gaharu sendiri tak yakin.
Jnanashiwa tertawa. "Kurasa Ranggadewa mencarimu untuk melamar putrimu, Resi."
Wajah sang Resi jelas terkejut. Tubuhnya membeku seketika sampai kemudian bahunya bergerak seiring tarikan napas panjang.
"Kau terkejut, hah?" Jnanashiwa tertawa lebar. Sedangkan Ragawa hanya tersenyum. "Aku juga terkejut ketika Ranggadewa mengatakannya padaku. Aku tak tahu bagaimana mereka bertemu dan menjalin asmara."
Diam-diam Gaharu bersyukur Jnanashiwa tak menyinggung tentang Purnala. Itu artinya tak ada yang tahu bahwasanya dirinyalah yang membantu pemuda itu mengamankan keluarganya.
Apa yang dipaparkan Sang Prabu menimbulkan kerutan lain di benaknya. Prasasti dan Ranggadewa memang dekat. Itu dia tahu. Tetapi ia tidak menyangka Putra Mahkota itu berniat menikahi putrinya.
"Hamba berterimakasih mendapat kehormatan ini, Gusti."
"Kita akan tetap bersaudara, Kakang Resi." Ragawa akhirnya berbicara. Ketika Gaharu menatapnya penuh tanya, Ragawa berpaling pada Jnanashiwa.
"Aku akan menikahkan Jayantaka dengan putri Ragawa." Jnanashiwa menjawab pertanyaan di mata Gaharu. "Dan Ranggadewa dengan putrimu."
Gaharu terdiam. Jika saja Sang Prabu mengetahui kebenarannya, akankah ia tetap pada keputusannya?
"Bagaimana, Gaharu?"
Jawaban Gaharu hanya anggukan. Matanya yang teduh bersinar bahagia. Ragawa menepuk bahunya seraya tersenyum penuh persetujuan.
"Bagus kalau begitu," ujar Jnanashiwa di akhir tawanya. "Aku ingin bertemu putrimu. Bawalah dia padaku secepat kau bisa."
Itu adalah titah raja yang tak memerlukan pertanyaan alih-alih bantahan. Tak ada alasan selain mengatakan iya.
"Hamba, Gusti Prabu." Sembah Gaharu khidmat.
![](https://img.wattpad.com/cover/24705172-288-k92260.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Ficción histórica"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...