Menjadi pengkhianat lebih berat bobot kesalahannya dibandingkan dengan hanya melukai seorang pangeran.
Walaupun keduanya akan berakhir dengan hukuman mati tentu saja cap pengkhianat akan membuat seluruh kerajaan akan ikut membenci. Tidak ada lagi tempat untuk sembunyi apalagi yang mampu melindungi.Apa yang kulakukan ini adalah langkah terakhir yang bisa kutempuh. Jika setelah ini kau masih ingin menetap di sini, aku sudah tidak bisa melakukan apapun untukmu.
"Aku mengerti."
Satu hal lagi. Hyaning itu juga adalah ibuku. Jadi kita adalah saudara. Kurasa kita sepantaran, karena itu aku akan memanggilmu nama saja. Bagaimana?
"Baiklah. Aku setuju. Jaga dirimu, aku pergi dulu."
*****
Lama setelahnya Prasasti masih memikirkan kata-kata Pratiksa. Pemuda seumurannya yang akhirnya menemukannya saat melarikan diri dari Lumpring.
Pemuda itu membawanya ke balik gunung dan mempertemukannya dengan sang ayah angkat, Resi Gaharu. Disana ia juga bertemu Jayantaka dan Alanjung, pemuda lain yang ternyata anak kandung sang Resi.
Dan juga cerita tentang Hyaning. Ia baru tahu nama ibunya adalah Hyaning. Perempuan yang membuat ayah kandungnya menjadi pengkhianat. Sayang sekali ia tak pernah menjumpainya. Pratiksa mengatakan ibunya telah pergi dari Puranggahu seperti yang diperintahkan oleh Patih Ragawa.
Itu artinya, ibunya masih hidup. Entah dimana. Dan ia masih punya kesempatan mencarinya.
Atas saran Resi Gaharu, ia pergi bersama Panji mencari jalan ke tempat asalnya, Mamrati. Setelah itu ia berjanji akan kembali ke tempat semula lalu mengasingkan diri ke tempat yang jauh dimana Prabu Jnanashiwa tak akan menemukannya.
Kemudian ia pun bertemu dengan lelaki bermata merah yang misterius dan memiliki aura yang mengerikan. Lelaki aneh yang mengajaknya pulang ke suatu nagari. Entah dimana nagari itu berada. Nagari yang dikatakan adalah rumahnya.
Rumah apa? Ia bahkan tak memiliki tempat di Puranggahu. Lalu bagaimana tiba-tiba ia bisa mempunyai tempat untuk pulang. Apakah itu adalah nagari tempat ibunya berasal? Lelaki itu tidak mengatakan apapun.
Auranya saja sudah mengerikan. Ia pasti sejenis dedemit atau siluman yang akan menjebaknya ke kamadatu. Hampir saja. Ia hampir saja mengikuti lelaki itu kalau saja Ranggadewa tidak datang di air terjun dan meringkusnya seperti kijang buruan.
Melukainya saja sudah membuatnya ketakutan akan hukuman mati dari Jnanashiwa. Apalagi dengan julukan 'anak pengkhianat adalah juga pengkhianat' seperti sekarang. Ranggadewa, sang kumararaja itu tentu tidak akan sudi mengampuninya. Apatah lagi seorang Jnanashiwa.
Jika Jayantaka saja diamuk dengan cemeti berlidah tajam hingga berdarah-darah seperti itu, bagaimana dengan dirinya? Dulu Purnala dihukum panah karena melukai putra sulung Jnanashiwa. Lalu apa hukuman bagi pengkhianat? Apakah dia harus mati di pengasingan seperti ayahnya?
"Jangan beri makan macanku hingga purnama tiba. Saat itu jadikan ia santapannya."
Prasasti hancur mendengarnya. Menjadi santapan harimau? Yang benar saja. Harimau yang bahkan tidak diberi makan dalam dua pekan. Dapat dibayangkan bagaimana buasnya harimau yang kelaparan. Ia akan mencabik-cabik tubuhnya hingga tinggal tulang belulang. Dan setiap gigitannya akan terasa luar biasa sakitnya. Itu sungguh hukuman yang melebihi hukuman panah.
Ia tak tahu harus berpikir bagaimana saat prajurit menyeretnya keluar istana dan menjebloskannya ke pakunjaran. Ia sempat melihat Jayantaka yang ambruk bersimbah darah. Sementara Ranggadewa hanya berdiam diri di tempatnya seperti arca.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...