Bab XLVII

1.4K 171 5
                                    

Bulan masih baru. Kecil berbentuk sabit dan baru terbit setelah sang surya menghilang di balik bukit.
Ia bertengger sangat rendah di langit hingga dalam waktu yang singkat harus kembali tenggelam menyusul matahari dan meninggalkan malam yang gulita.

Patih Ragawa melangkah tergesa menuju bilik menantunya di dalam ksatrian. Dia tidak pernah terlihat tidak sabar sebelum ini. Bisa dipastikan ada hal yang begitu genting yang memaksanya bergerak cepat.

Dua prajurit penjaga membukakan pintu begitu melihat Ragawa muncul tergesa. Ragawa memasuki bilik Jayantaka dan melihat pangeran itu tengah duduk bersila di atas ranjangnya.

Seorang dayang membantu Dhyanindita yang tengah membersihkan luka-luka di punggung Jayantaka. Wajah sang putri memerah karena tak henti menangis namun ia cukup tabah untuk menguatkan dirinya melihat kakaknya sekarat.

Sang pangeran memejamkan mata menahan perih lukanya. Ia mendengar adiknya menangis selama merawatnya. Sementara istrinya sudah dibawa ke bilik yang lain karena pingsan begitu melihat tubuhnya terkoyak dan berdarah-darah.

"Dhyani, berhentilah. Aku baik-baik saja." Jayantaka menahan geramannya.

"Raden."

Jayantaka mengangkat wajahnya dan mendapati Patih Ragawa sudah berdiri di depannya dengan wajah seribu tanya.

"Kenapa Raden melakukan semua ini? Kenapa melindungiku dan mengorbankan diri?"

Pangeran itu hanya menggeleng sambil meringis.

"Apakah Raden sudah bertemu Pratiksa?" Kali ini sang pangeran mengangguk. "Apakah Kakang Resi selamat?"

"Pratiksa melakukan tugasnya dengan baik."

Sang patih mendesah lega. Ia tahu Pratiksa mampu melakukan setiap tugas yang diberikannya tanpa mengecewakannya. Anak muda satu itu memang selalu bisa diandalkan.

Namun melihat Jayantaka mengambil alih segala akibatnya sungguh merisaukannya. Harusnya dirinyalah yang menanggung hukuman cambuk dari Prabu Jnanashiwa. Harusnya dialah yang terluka atau bahkan mungkin mati karenanya. Ia tahu cemeti milik Jnanashiwa bukan hanya tajam, namun juga beracun.

"Paman sungguh menyesalkan tindakanmu, Raden. Paman berusaha melindungi orang lain tapi Raden yang mendapatkan hukumannya. Paman minta maaf."

Jayantaka menggeleng pelan. "Paman melindungi guruku jadi aku harus membalas budi demi beliau." Ia terbatuk dan menyemburkan darah dari mulutnya.

"Kanda," Dhyani langsung panik melihatnya. Ia memegangi lengan kakaknya.

"Raden." Ragawa memegangi lengan satunya. Ia melihat dayang yang merawat Jayantaka. "Kenapa tabibnya belum datang juga?"

Dayang itu hanya menggeleng dengan raut muka bersalah karena ketidaktahuannya.

Ketika tabib datang dan mengaduk ramuan untuk Jayantaka, Ranggadewa menyeruak masuk ke dalam biliknya. Ia mengacungkan guci kecil di tangannya.

"Pakai ini." Semua orang melihat pada Ranggadewa. "Aku tidak mau melihatnya mati sebelum tengah malam karena keracunan. Ini penawarnya."

Kedua pangeran itu bertatapan. Ranggadewa tahu arti sorot mata kakaknya namun Jayantaka tidak tahu makna tatapan adiknya. Ia merasa sekarang ada jarak di antara mereka yang entah disebabkan oleh apa dan mengapa.

Tabib istana menerima guci yang diberikan Ranggadewa lalu mencampurkannya ke dalam ramuan yang dibawanya sebelum memberikannya kepada Jayantaka.

Ranggadewa berbalik pergi bahkan sebelum Jayantaka menghabiskan obatnya. Sikapnya yang aneh mendapat perhatian Ragawa.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang