Bab XI

3.1K 333 10
                                    

Kedua kuda itu berlari kencang berkejaran. Menembus belantara yang pekat, sungai yang gemericik syahdu dan padang rumput yang menghijau sejauh mata memandang. Siang berganti malam. Bulan tinggal separuh bertengger di langit yang bersih tanpa awan. Kedua binatang kokoh itu sudah berhenti berlari. Mereka tengah merumput di tepi padang. Mengunyahnya pelan-pelan seolah malas, atau protes pada tuannya yang terlambat memberi makan. Sedangkan kedua pemiliknya tengah berdiang dekat api unggun.

"Kapan kita akan sampai?"

"Besok kurasa." Suara kemerisik ranting patah dilahap api mengiringi jawaban itu. "Kenapa Prasasti? Kau sudah tak sabar ya?"

Ada senyuman dalam pertanyaan itu membuat Prasasti sedikit kesal. Apalagi dengan nada menggoda seperti itu. Prasasti memasang wajah cemberut.

"Sebenarnya kita mau kemana, Ranggadewa? Sudah seharian kita berkuda tapi belum sampai juga."

"Kau akan tahu besok." Jawab Ranggadewa penuh teka-teki. Ia hanya tersenyum ketika Prasasti melengos tidak puas.

"Tidurlah. Aku akan menjagamu."

Prasasti beringsut menjauh. Dirasanya tubuhnya sangat lelah setelah seharian berkuda tanpa henti. Tadi pagi-pagi sekali Ranggadewa sudah muncul di rumahnya di Lumpring dan anehnya tanpa pengawalnya. Dia menyuruh Prasasti segera bersiap dan mengajaknya pergi tanpa menyebutkan tujuannya.

Percuma saja ia protes sepanjang jalan karena Ranggadewa seolah tak mendengarkan, justru memacu kudanya makin cepat. Mau tak mau ia pun mengejar agar tak tertinggal jauh. Hingga akhirnya matahari menghilang dan kegelapan turun barulah mereka berhenti. Mereka turun dari kuda masing-masing dan membiarkan tunggangan mereka minum sepuasnya di sungai lalu makan rumput segar di sepanjang tepiannya.

Setelah minum di sungai Ranggadewa membuat api unggun dan mengajak Prasasti istirahat disana. Hari ini mereka tidak sempat berburu, jadi tak ada makanan apapun untuk mengganjal perut mereka yang kosong. Prasasti lapar tapi ia kalah pada rasa lelahnya. Ia memutuskan untuk tidur saja.

"Heh, mau kemana?" Prasasti urung menjauh karena Ranggadewa meraih pundaknya dengan tangan kirinya. Tangan yang satu lagi menepuk pahanya sendiri.

"Tidurlah disini."

Prasasti menoleh menatapnya dan Ranggadewa hanya menaikkan alisnya. Itu seperti perintah yang tak boleh dibantah. Entah kenapa Prasasti merasakan aura kekuasaan menguar dari diri kekasihnya itu. Tanpa ada alasan untuk menolak, terlebih karena ia sungguh merasa lelah, ia pun meletakkan kepalanya di pangkuan Ranggadewa.

Rasa dingin tanah langsung merayapi punggungnya begitu ia berbaring. Tapi kehangatan pelan-pelan menyusup ke benaknya saat tangan Ranggadewa mengusap-usap kepalanya. Telapak tangannya yang lebar dan hangat itu menyalurkan kenyamanan hingga ke hatinya. Dipandangnya Ranggadewa yang menunduk juga menatapnya sambil tersenyum membuat hatinya seperti diaduk-aduk. Ia malu sekaligus terpesona pada pangeran tampan itu. Dipejamkannya mata beningnya menyembunyikan rasa malu. Lalu dirasanya tangan Ranggadewa menggenggam tangan mungilnya yang bersatu diatas perutnya. Prasasti menghela napas. Perasaannya sungguh nyaman dan pelan-pelan kesadarannya terseret entah kemana.

Ia tersadar ketika suara burung berisik membangunkannya. Hal pertama yang dilihatnya ketika membuka mata adalah senyum Ranggadewa yang begitu menawan.

"Kau sudah bangun?"

Prasasti mengerjap. "Semalaman kau tak tidur?"

Lagi-lagi Ranggadewa menyunggingkan senyum yang membuat bidadari pun akan bertekuk lutut padanya. "Sudah kubilang aku akan menjagamu kan?"

Prasasti menelan ludah. Kalimat itu benar atau menggodanya saja? Ia bangkit duduk di sebelah Ranggadewa. Api unggun sudah mati. Tinggal abu dan sedikit bara yang hampir padam. Ia menoleh ke arah sungai dan melihat kuda mereka tengah merumput dengan tenang.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang