Bab XXXIII

1.8K 202 27
                                    

"Kau pengkhianat!"

Apalagi yang lebih menyesakkan daripada itu? Disebut sebagai pengkhianat. Oleh kekasih sendiri atas sesuatu yang sama sekali tidak ia ketahui.

Seakan tidak percaya pada telinganya sendiri, ia melihat kekasihnya menusuknya dengan tatapan membunuh. Dan dengan pedang yang terhunus ke dadanya.

"Prasasti tidak bersalah, Raden. Dia tak tahu apa-apa. Dan dia bukanlah pengkhianat seperti yang Raden tuduhkan." Gaharu membela putri angkatnya.

"Anak pengkhianat juga seorang pengkhianat." Jnanashiwa menggeram bak singa yang marah. Ia menatap tajam pada Gaharu. "Dan kau telah melakukan kesalahan besar karena menyembunyikannya selama ini, Gaharu."

Seakan pasir yang menghisap air, kalimat Jnanashiwa meresap begitu saja dalam benak Ranggadewa. Ia melirik sinis pada brahmana yang bersila dengan tenang di sebelah Prasasti. Entah kekuatan dari mana yang menggerakkan tangan Ranggadewa, membawa pedangnya yang berkilat menunjuk tepat di dada sang Resi.

"Kalian berdua pantas dihukum."

Gaharu mendongak. Memandang putra mahkota dengan iba. Sayang sekali ia termakan oleh pikiran buruk ayahnya. Andai saja pikirannya tidak diracuni oleh ayahnya, batin Gaharu pilu.

Kematian tidak pernah menakutkannya. Setiap jiwa akan mengalami perpisahan dengan raganya untuk kemudian hadir kembali di masa depan. Lahir sebagai apa tergantung pada karmanya pada kehidupan yang lalu. Jika sekarang kematian di ujung pedang Ranggadewa akan melepaskannya dari samsara, Gaharu sudah sangat siap.

Tiba-tiba saja ada sebilah pedang yang beradu dengan pedang Ranggadewa. Suara dentingnya yang merdu mengalihkan perhatian semua orang pada pemegangnya.

Dengan gerakan yang anggun Jayantaka menggores pedang adiknya, membuat putra mahkota Puranggahu itu melotot marah padanya. Kemudian dengan pedangnya Jayantaka mengalihkan ujung senjata Ranggadewa mengarah ke dadanya sendiri dan membuang pedangnya ke lantai.

"Ambil nyawaku sebelum kau ambil nyawa guruku dan putrinya."

Seketika waktu membeku. Semua terkejut melihat apa yang dilakukan putra tertua Prabu Jnanashiwa itu.
Semua mata tertuju padanya. Terpaku. Kehilangan suara. Kehilangan kata-kata. Bahkan Ranggadewa yang ujung pedangnya menyentuh dada Jayantaka.

******

"Apa-apaan ini?"

Kebekuan istana terkoyak oleh suara Resi Jnanawidhi.

Ia menyeruak ke dalam balairung dan tertegun melihat kedua pangeran berseteru. Dahinya mengernyit melihat Ranggadewa mengacungkan pedang ke dada Jayantaka.

"Kalian mau saling bunuh?"

Ranggadewa hanya melirik pamannya sekilas sementara Jayantaka membeku bagai arca. Di atas singghasananya, Jnanashiwa menebar pandangan sengit pada kakaknya.

"Adi Prabu, apakah kau membiarkan kedua putramu saling bunuh di depan matamu?"

"Sebaiknya kau tidak perlu ikut campur, Kakang Resi."

Resi Jnanawidhi menautkan alis. Dihela napasnya yang panjang. Ia tak menyangka kehidupannya yang selama ini tenang terusik oleh sikap adiknya, juga keponakannya. Ia menyayangkan jika Puranggahu dikuasai oleh raja yang hanya menuruti hawa nafsu saja.

"Tidakkah kau ingin lepas dari samsara, Adi Prabu? Berlakulah lebih arif bijaksana. Masalah tidak akan selesai hanya dengan pedang."

"Cukup, Kakang. Jangan mengudar wejangan di istanaku. Aku sudah muak denganmu. Kalau saja kau tidak memiliki darah Jnanawangsa, takkan kubiarkan kau menginjak bhumi Puranggahu." Dengan wajah merah padam ia bangkit dari dampar kencananya. Lalu menghentakkan kakinya dan melangkah lebar keluar balairung.

Ia berteriak sesampainya di ambang pintu. "Prajurit, siapkan kudaku. Aku mau berburu!"

Kemudian ia menghilang di balik dinding istana.

Resi Jnanawidhi menghela napas. Berpaling pada keponakannya. "Jayantaka, susul ayahmu."

Dibawah tatapan tajam adiknya, Jayantaka bangkit tanpa bicara. Ia menghaturkan sembah singkat pada Jnanawidhi dan bergegas keluar.

"Ranggadewa, bisakah kaujelaskan semuanya pada Pamanmu ini? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Putra Mahkota Puranggahu itu melirik Resi Gaharu dan Prasasti sambil menyarungkan pedangnya dengan rasa kesal yang menggunung memenuhi dadanya.

"Tanya saja mereka." Sahut Ranggadewa ketus. Ia pun berlalu tanpa bicara lagi.

*******

"Aku tidak mengerti, Paman. Bisakah Paman beritahu aku siapa itu Kumba Adwaya? Kenapa dia menjadi musuh Puranggahu?"

Resi Gaharu memandang Prasasti dalam diam. Ada kilatan penyesalan di matanya yang teduh.

"Paman......"

"Kumba Adwaya adalah ayah kandungmu, Sasti." Akhirnya Gaharu bersuara.

"Apa yang membuatnya jadi pengkhianat? Sehingga aku yang tak tahu apa-apa pun ikut dipersalahkan?"

Penjelasannya mungkin akan terdengar aneh. Namun itulah kenyataannya. Kenyataan yàng membuat orang-orang meyakini bahwa titah yang sebenarnya adalah yang disabdakan oleh Prabu Jnanashiwa. Bukan titah yang hanya melarang penduduk Puranggahu berhubungan dengan orang-orang bunian.

"Karena dia telah menikah dengan ibumu." Gaharu mengambil jeda untuk melihat reaksi Prasasti. Namun rupanya gadis itu bergeming, tatapannya menuntut lebih akan apa yang seharusnya ia ketahui.

"Ibumu adalah orang asing. Dia bukan orang Puranggahu. Itulah kenapa ayahmu dianggap telah berkhianat kepada negeri ini."

Renungan panjang menggerayangi benak Prasasti. Apa yang dijelaskan oleh ayah angkatnya masih belum dapat ditelaah olehnya. Pertanyaan tentang mengapa larangan itu diberlakukan tentu memiliki sebab dan kisah yang panjang.

Sambil menikmati cahaya bulan yang remang-remang, Prasasti memikirkan kembali tentang jati dirinya. Bahwa jika ternyata ibunya adalah orang asing, maka dia pun setengah asing disini. Apa yang akan diterimanya sebagai orang yang memiliki darah asing dalam tubuhnya?

Ia telah kembali dari kedaton dengan selamat bersama ayah angkatnya atas jaminan Resi Jnanawidhi. Patih Ragawa bahkan memerintahkan beberapa prajurit mengawal mereka hingga ke gunung Kemulan. Namun tak jauh setelah keluar dari lingkungan istana, Resi Gaharu meminta para prajurit itu pulang. Selanjutnya mereka berdua berkuda menuju pesanggrahan tanpa pengawalan.

"Kau masih disini?"

Prasasti menoleh ke belakang dan mendapati Resi Gaharu menghampirinya. "Aku masih ingin menikmati cahaya sasadara, Paman."

"Ini sudah lewat tengah malam. Apa kau tidak lelah setelah perjalanan jauh dari Purana?"

Prasasti menggeleng. "Aku belum mengantuk. Paman istirahat saja di dalam."

Mereka tidak langsung menuju pesanggrahan namun berhenti di rumah lama mereka di Lumpring. Hari sudah separuh gelap ketika mereka sampai di ujung desa. Karena itulah Resi Gaharu mengajak Prasasti singgah di pondok lama mereka.

"Besok kau akan ikut naik atau tetap disini?"

"Di sini saja, Paman."

Resi Gaharu mengangguk. Ia sudah menduga Prasasti akan memilih tinggal di Lumpring daripada di pesanggrahan. Seperti biasanya. Kemudian brahmana itu beranjak masuk ke dalam pondok.

Keesokan harinya Resi Gaharu meninggalkan pondok sebelum hari terang. Prasasti masih terkantuk-kantuk saat mengantarnya ke regol halaman. Dalam sekejap tubuh sang resi ditelan kabut pagi yang belum mau memudar.

Prasasti masih duduk bersandar di dinding pendopo. Kantuknya memberati langkahnya kembali ke bilik. Ia memejam dan hampir tertidur lagi ketika pintu pondoknya diketuk.

Ia bangkit pada ketukan ketiga, setengah terhuyung dan membuka pintu perlahan. Seseorang berdiri di depan pintu rumahnya. Seorang pemuda dengan pakaian yang aneh dan rambut yang pendek.

"Siapa kau?"

Pemuda itu menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan. Wajahnya terlihat putus asa.

"Tolonglah aku. Namaku Panji."

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang