Bab XXXII

1.8K 208 12
                                    

Ranggadewa merasa baru saja dihantam gada. Lebih dari sekedar terkejut. Kumba Adwaya yang ia tahu adalah seorang pengkhianat yang berani melanggar titah leluhur Jnana. Ia telah berani keluar dari Puranggahu dan menjalin hubungan dengan orang luar.

Dihadapkan pada kenyataan itu Ranggadewa tersulut amarah. Kebenciannya pada pengkhianat memutik juga pada keturunannya. Ia mengabaikan kenyataan lain bahwa keturunan sang pengkhianat itu adalah kekasihnya, pemilik hatinya.

Ditatapnya Prasasti nanar. Dadanya meluap, sesak karena merasa dikhianati. Ia tak menyangka gadis yang dicintainya, yang ia bayangkan menjadi ratunya nanti, tak lain adalah anak dari seorang yang dimusuhi ayahnya.

"Benarkah itu, Prasasti?"

Getaran dalam suara Ranggadewa membuat hati Prasasti berdesir. Benarkah itu? Benarkah ia putri Kumba Adwaya sang pengkhianat?

Itu juga pertanyaan yang ingin ia ajukan karena ia hanya punya pertanyaan namun tak memiliki jawaban. Namun siapakah yang bisa menjelaskan hal yang sebenarnya?

Perlahan Prasasti menggeleng. Dalam keraguan dan ketidaktahuan tentang jati dirinya. Ia pun kebingungan dalam aura intimidasi Ranggadewa dan tuduhan Prabu Jnanashiwa.

Api merambati dinding hati Ranggadewa. Meresap ke dalam setiap titik syaraf di tubuhnya. Panasnya membakar tanpa sanggup dibendung lagi. Menghanguskan kesejukan hati yang selalu memuja jiwa kekasihnya.

Tiba-tiba Ranggadewa menghunus pedangnya secepat kilat. Dan mengarahkan ujungnya yang begitu tajam ke dada Prasasti.

"Kau pengkhianat!"

Prasasti terbelalak kaget. Matanya melotot terpaku pada pedang di bawah dagunya. Perlahan ia mendongak dan seakan tak percaya ia mendapati sosok Ranggadewa dikelilingi aura api tengah menusuknya dengan tatapan membunuh.

*******

Pratiksa mengelus-elus bulu sayap burung kalangkyang kesayangannya. Ia senang hewan itu sudah hampir sembuh sepenuhnya. Sayapnya yang dulu terluka kini telah pulih seperti sedia kala. Hanya saja burung itu belum bisa terbang.

Ia tersenyum melihat sosok ibunya memasuki halaman seraya membawa sekeranjang dedaunan entah apa.
"Ibu dari mana?" tanyanya begitu sang ibu menaiki tangga rumahnya yang sederhana.

"Dari hutan. Ibu ambilkan daun pakis kesukaanmu."

Pratiksa melihat ke dalam keranjang. Benar disana ada seonggok daun pakis di bawah daun yang berhelai panjang. Juga beberapa butir buah berwarna merah kecoklatan.

"Bagaimana dia?" Tanya ibunya, menunjuk burung kalangkyang di pangkuan Pratiksa dengan dagunya.

Sambil membelai sayapnya yang coklat berkilauan, Pratiksa mengulas senyum. "Dia tidak mau terbang. Mungkin masih takut."

Keduanya tertawa tanpa alasan. Derainya terbawa angin sore yang menyegarkan.

"Pratiksa, bisakah kau antarkan ibu ke suatu tempat?" Perempuan cantik itu memandang putranya penuh harap.

"Kemana?"

"Ke gunung Kemulan."

Kening Pratiksa berkerut. Selama ini tak pernah sekalipun ibunya bepergian jauh. Kecuali dulu sewaktu ia masih kecil. Hanya sekali itu saja. Perjalanan yang begitu jauh ditempuhnya sebelum menetap di dekat Purana. Ia bahkan tak ingat sejauh apa dan berapa lama perjalanan itu ditempuh.

"Ada apa ibu ingin kesana?" tanyanya penasaran. Ia menatap ibunya penuh rasa ingin tahu sementara burung di pangkuannya mengepak-ngepakkan sayapnya tanpa mendapat perhatian.

"Ibu ingin menemui seseorang. Bagaimana? Apa kau bisa?"

"Siapa?"

Wanita itu tersenyum melihat putranya nampak begitu ingin tahu. Namun ia menahan diri untuk tidak mengatakan alasan sebenarnya. "Nanti kau akan tahu."

Sang prajurit di hadapannya terdiam sejenak. Menimbang dalam pikirnya. Tentu ada hal penting sehingga ibunya yang tak pernah kemana-mana mendadak ingin pergi ke gunung Kemulan. Tempat itu cukup jauh. Perlu dua hari dua malam untuk mencapainya.

"Baiklah." Kata Pratiksa memutuskan. "Saya akan meminjam kereta kuda di kepatihan untuk mengantar ibu kesana."

"Tidak perlu, Pratiksa. Kita naik kuda saja biar lebih cepat sampai."

Pemuda itu ternganga keheranan. "Ibu bisa naik kuda?" tanyanya tak percaya. Ibunya hanya mengangguk dan membuat Pratiksa makin tercengang.

Seolah wanita itu bukan ibu yang selama ini dikenalnya. Pratiksa merasakan aura yang berbeda pada ibunya. Namun ia tak punya pilihan untuk memikirkannya lebih jauh. Wanita itu adalah ibunya sendiri, wanita yang berjuang mengasuhnya sejak kecil seorang diri.

"Baik, Ibu. Besok pagi kita berangkat."

*********

Warih masih belum dapat memejamkan mata. Ia bahkan masih duduk di luar menikmati dinginnya angin gunung yang menerpa kulitnya yang keriput.

Bulan tak lagi sempurna baru saja terbit di ujung langit. Sinarnya lemah menimpa bumi dengan remang. Suara jangkrik dan binatang malam bersahutan. Entah apa yang mereka percakapkan antar sesamanya.

Brahmana tua itu menghela napas. Sudah satu purnama gurunya meninggalkan pesanggrahan dan belum kembali. Beberapa hari yang lalu Putra Mahkota Puranggahu pun datang dan membawa putri gurunya ke istana.

"Rasa apa yang menyergapku ini? Kenapa hatiku tidak tenang? Apakah gerangan yang terjadi denganmu, Guru?" Warih membatin.

Kemudian ia memposisikan dirinya duduk bersila di pendopo rumahnya yang tak berdinding. Tempat itu biasanya digunakan untuk berkumpulnya para murid pesanggrahan untuk mendengarkan wejangan dari guru mereka.

Warih mulai mengatur napas perlahan-lahan dalam samadi. Meresapi keheningan yang membungkus malam. Di angkasa bulan merambat naik ditemani jutaan kartika yang berkelipan.

Seorang murid mendatangi pendopo dan memutus samadinya. "Maaf, Guru. Ada tamu yang datang."

Segera Warih membuka mata. "Siapa?"

"Tidak tahu. Katanya ingin bertemu Maharesi."

Tamu yang ingin bertemu Resi Gaharu? Warih mengerutkan dahi. Gurunya memang terkenal di seluruh pelosok Puranggahu. Banyak orang yang mencarinya dan ingin menjadi muridnya. Bahkan Pangeran Kartikeyasingha pun berminat berguru padanya. Maharesi Gaharu memang luar biasa mengagumkan.

"Suruhlah tamu itu masuk. Biar kutemui disini."

Cantrik itu mengangguk mengiyakan dan segera berlalu. Tak berapa lama kemudian ia kembali bersama dua orang, lelaki dan perempuan, yang datang bertamu ke pesanggrahan. Cahaya bulan yang remang-remang tak cukup menerangi sehingga Warih tak dapat mengenali siapa kedua tamunya.

"Selamat datang di pesanggrahan kami. Gerangan siapakah kisanak berdua ini?" sambut Warih ramah.

"Kakang Warih, kau tak mengenaliku?" Sang perempuan bersuara. Indah dan merdu. Sapaan yang begitu akrab membuat brahmana itu menautkan alis.

"Nyai mengenaliku? Siapakah dirimu, Nyai?"

Perempuan bersuara merdu melangkah hingga cahaya obor yang tertancap di halaman pendopo menerangi wajahnya dengan sempurna. Warih mencoba mengenalinya. Ia perempuan yang berparas cantik seperti putri raja, meski usianya tak lagi muda.

Wajahnya bundar seperti purnama, rambut yang sehitam malam dan pundaknya bercahaya.

"Hyaning?"

Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. "Ya, Kakang Warih."

"Benarkah ini kau?" Warih mendekatinya seolah tak percaya. "Kemana saja kau selama ini? Kupikir kau menghilang dan tak kembali."

Wajah cantik itu berubah sendu. Ia menghela napas panjang. "Maafkan aku, Kakang. Akan sangat panjang bila kuceritakan."

Warih membenarkan. "Tentu saja. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, Hyaning."

"Aku ingin bertemu putriku, Prasasti. Dimana dia?"

****

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang