"Apa hubunganmu dengan Mahesi?" Sailendra tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
Ketika ia menolong Prasasti, ia hampir yakin gadis itu adalah Mahesi. Hampir. Walaupun sejatinya ia sendiri tidak yakin pada pikirannya saat itu.
Prasasti mengernyit. Mahesi? Ia bahkan tidak punya bayangan apapun. Tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Jadi ia hanya bisa menggeleng. "Saya tidak tahu siapa dia."
Sailendra membuka mulutnya tapi kata-katanya tidak mampu melewati tenggorokan. Akhirnya ia menutup mulut dan mengangguk.
Di depannya Shima melihat ekspresi tidak puas di wajah pria itu. Ia menemukan cara untuk mengolok-oloknya. "Kau salah tebak."
Diserang dengan fakta yang agak memalukan itu, Sailendra sebenarnya merasa kurang senang. Tetapi ia tidak menunjukkannya dengan jelas.
Awalnya dia memang tidak yakin gadis itu Mahesi jadi keraguan itu tidak memberinya jejak tidak senang yang mengganggu. Setidaknya sekarang ia sudah tahu praduganya tidak benar. Dia bukanlah Mahesi. Sailendra bahkan melihat mereka tidak punya banyak kemiripan.
"Baiklah. Maafkan aku telah salah menduga. Kalian istirahatlah."
Malam baru saja turun dan perlahan udara menjadi dingin. Tempat mereka beristirahat cukup dekat dengan air laut sehingga meskipun berlindung di dekat perdu tetap saja tidak mampu menahan terpaan angin laut.
Prasasti sebenarnya mengagumi lautan karena seumur hidupnya ia baru melihatnya sekarang. Namun ia juga menyimpan rasa ngeri ketika mengingat kembali lautan itu hampir membunuhnya.
Ingatan saat ia terjatuh dari tebing dan tenggelam di laut benar-benar melekatkannya pada sebuah kengerian yang tidak bisa ia gambarkan. Rasa sakitnya sungguh luar biasa. Waktu itu ia bahkan sudah percaya bahwa dirinya telah mati.
Berada di pantai yang landai dengan pemandangan laut biru adalah sebuah pengalaman yang baru baginya. Itu memberinya rasa yang membuat jantungnya tidak bisa bertahan untuk tenang.
Akan tetapi suara gemuruh ombak yang datang dari tengah lautan menyerangnya dengan rasa yang menyakitkan. Itu antara takjub dan takut. Antara pesona dan kengerian.
Bagaimana pun juga dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Jnanaloka atas peristiwa jatuh tersebut. Dia hanya belum bisa percaya Jnanaloka berniat membunuhnya dengan racun. Wajahnya yang sungguh-sungguh dipenuhi kemarahan. Biasanya air muka seperti itu menunjukkan seseorang yang kehilangan kesabaran.
Diam-diam Prasasti merasa bersyukur telah jatuh ke laut. Setidaknya ia sekarang telah diselamatkan. Jika tidak, mungkin dirinya sudah tewas karena wisa welang yang mematikan.
Prasasti menggelar pikirannya hingga jauh malam. Dia berbaring di sebelah Shima, memejamkan mata dan pura-pura tidur. Dia tidak tahu Sailendra mengetahuinya. Ketika malam semakin tinggi, akhirnya gadis itu jatuh tertidur.
Dalam tidurnya ia bermimpi angin laut berhenti. Dingin yang berhembus menguap entah kemana dan rasa hangat menyelimutinya. Kehangatan itu hanya pernah ia rasakan di masa lalunya yang entah di mana.
Keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan ke kutaraja Kalingga, beberapa saat setelah matahari terbit. Sailendra mendapatkan kuda untuk mereka bertiga. Namun ia mengambil jalan lain setelah melewati satu desa. Ia sendirian kembali ke istananya sementara Prasasti mengikuti Shima menuju rumahnya.
Sailendra muncul di rumah Shima satu pekan berikutnya. Kali ini dia membawa beberapa pengawal. Prasasti tidak melihat rombongan itu datang. Ia hanya mendengar suara derap kaki kuda yang bergemuruh mendekat ke rumah Shima.
Karena dia hanyalah orang asing jadi dia berpikir kedatangan mereka tidak ada hubungannya dengan dirinya. Siapapun yang datang pastilah mencari si empunya rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Fiksi Sejarah"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...