Bab XLIX

1.5K 174 14
                                    

Ia tak beranjak dari tempatnya setelah sekian lama. Tak ada keinginan untuk itu. Tetap di sana. Tempat yang nyaman dan tersembunyi di antara rimbunnya pepohonan. Ia mengamati sekeliling dan segala sesuatu.

Sementara di sebelahnya seorang lainnya terlihat tidak sabar. Ia bergerak dengan gelisah.

"Jadi bagaimana, kau sudah temukan jalannya?"

Tak ada sahutan. Hanya gelengan kepala.

"Sancaka!"

"Sabarlah, Uma. Aku sedang mencari celahnya."

Sancaka sedikit kesal dengan sikap tidak sabar Uma namun bayangan seseorang yang baru saja melintasi pagar istana mengalihkan perhatiannya.

Orang itu terselubung kegelapan di bawah bayangan pepohonan. Namun gerakannya tertangkap oleh sinar bulan yang hampir purnama.

Gerak-geriknya agak mencurigakan. Ia beberapa kali melihat kiri kanan seolah takut ketahuan atau dikejar orang lain. Ia berbelok ke dinding sebelah timur dan Sancaka segera memburunya.

Uma terkejut dengan pergerakan Sancaka yang tiba-tiba. Ia pun segera menyusul ke arah yang sama. Tiba di tempat dimana lelaki itu menghilang, Uma terhenti dan keheranan.

Sancaka sudah meringkus seseorang dan ia meronta kuat. Suaranya teredam karena Sancaka membekap mulutnya.

"Siapa dia?" tanya Uma menghampiri mereka.

"Siapa kau?" Sancaka mengulangi. Namun orang itu tetap bungkam. Sancaka terpaksa membalikkan badannya dan mencengkeram rahang orang itu dengan kuat. "Katakan."

Tekanan kuat membuat orang itu menyerah. "Pra...prajurit," jawabnya terbata. Napasnya terengah dalam usahanya memberontak dari cengkeraman Sancaka.

Uma menaikkan alis dan tersenyum lebar. "Bagus. Kau bisa membawa kami masuk ke istana."

"Tidak bisa."

"Apanya yang tidak bisa? Tentu saja bisa. Karena jika tidak, kau terpaksa kehilangan nyawa, Prajurit."

Ancaman Uma disertai tatapan tajamnya tak urung membuat nyali sang prajurit menyurut. Ditambah lagi ia dalam keadaan tidak menguntungkan. Dua orang yang menahannya terlihat seperti bukan orang kebanyakan.

Sang prajurit akhirnya mengalah dan membawa keduanya memasuki kedaton Purana. Ia berhenti ketika hendak memasuki wilayah pakunjaran.

"Aku tidak bisa kesana. Banyak prajurit penjaga. Itu pakunjaran yang kalian tuju." Ia menunjuk bangunan tak jauh dari tempat mereka berhenti.

"Bukankah kau prajurit juga?"

"Tidak, Nyai. Aku prajurit kepatihan."

Sancaka dan Uma saling pandang lewat ekor mata sebelum Uma berdecak meninggikan suara.

"Ah. Itu tidak masalah. Jalan saja dan semua akan beres." Ratu bunian itu menyunggingkan senyumnya yang mempesona.

"Aku tidak...."

"Jalan saja." Sancaka mendorong tubuh prajurit itu hingga berbalik ke arah pakunjaran dan memaksanya memimpin jalan.

Kedua orang ini sepertinya bukan orang yang bisa menerima alasan atau penolakan. Batin sang prajurit. Dia pun tak punya pilihan lain kecuali menuruti kemauan mereka.

Ia berjalan lambat dan berhati-hati. Sesekali ia menerima dorongan dari lelaki di belakangnya agar berjalan terus. Yang ia khawatirkan adalah jika para prajurit penjaga menghentikannya dan menanyainya. Ia tak punya dalih untuk mengelak. Karena mereka akan tahu kedua orang di belakangnya adalah orang asing.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang