Musim kemarau sepertinya belum akan berakhir. Walaupun kadang mendung bergantung di langit yang membiru. Namun rupanya ia hanya mampir sebentar untuk kemudian berlalu bersama angin.
Rerumputan sudah mengering. Dedaunan berguguran meninggalkan ranting yang kian merana. Burung-burung pemanggil hujan riuh berkicau namun langit tak jua membuka pintu dan menumpahkan air surganya.
Angin yang tak lelah berhembus membelah rumpun bambu mendesaukan alunan dewa bayu yang tengah jatuh cinta.
Kedua gadis itu menikmatinya sambil berendam di kedung kecil. Gemericik air melewati bebatuan alam bagaikan hendak mengiringi Siwa Nataraja menari.
Keduanya adalah Prasasti dan sahabatnya, Gayatri. Mereka baru saja pulang mencari tanaman untuk ramuan obat dan mampir ke hulu sungai untuk beristirahat dan menyegarkan diri.
"Apa ayahmu sudah pulang, Sasti?" Gayatri bertanya. Jemarinya sibuk menyisir rambutnya yang basah.
Prasasti menyusul naik ke tepian kedung, duduk di batu besar. "Belum. Pestanya kan diselenggarakan selama satu setengah purnama."
"Kenapa kau tidak ikut ayahmu ke istana? Kalau aku jadi kau, aku pasti akan ikut. Di sana tentu banyak pemuda tampan yang menarik...."
Gayatri terbungkam mendadak oleh lirikan tajam Prasasti.
"Kenapa?" Gayatri cemberut. "Matamu sinis sekali."
"Aku bukan kau," sahut Prasasti santai. Ia sudah selesai berpakaian lalu mengemasi bawaannya yang berupa daun-daunan dan akar entah apa. "Ayo pulang."
Dengan sedikit kesal karena tak dipedulikan sahabatnya, Gayatri mengikuti dengan hati agak dongkol. Kadang-kadang sahabatnya itu memang menyebalkan. Tidak peduli, keras kepala dan semau sendiri. Namun hanya dialah yang selalu membela dan melindunginya. Menyayanginya dengan caranya sendiri. Karena itu bagaimanapun keadaannya ia tak bisa menjauh dari Prasasti. Sahabatnya. Temannya yang galak namun baik hati.
"Kau pulang ke Lumpring atau ke Pasetran?" tanya Gayatri. Ia tersandung-sandung mengikuti langkah Prasasti.
"Ke Lumpring dulu, mengantarmu pulang. Baru ke Pasetran. Aku sudah janji akan membawakan bunga turi untuk paman Warih."
"Baiklah. Terserah kau saja."
Mendadak langkah Prasasti berhenti. Ia tersentak ke belakang seolah sesuatu menghantam dadanya dengan keras. Spontan ia memegangi dada kirinya yang tiba-tiba sesak.
"Kenapa, Sasti?" tanya Gayatri heran.
Yang ditanya cuma meringis meneguk ludah. Bahkan ia pun tak tahu apa yang terjadi dengannya. Kenapa tiba-tiba saja dadanya terasa nyeri setelah dihantam sesuatu tak kasat mata. Siapakah yang baru saja menyerangnya? Ataukah ia hanya salah sasaran karena berada di tempat yang salah?
Prasasti mengedarkan pandang. Dengan kekuatan batinnya ia tak menjumpai apapun sebagai jawaban. Hutan di sekelilingnya murni. Tidak ada hawa aneh atau mencurigakan yang dirasakannya.
Jadi ia berkesimpulan memang tak ada apapun yang terjadi. Ia hanya merasakan hatinya tidak enak, gelisah tanpa alasan.
"Tidak apa-apa. Ayo." Digamitnya lengan Gayatri untuk bergegas.
Mereka sampai di Lumpring ketika matahari telah condong ke barat. Sinarnya masih cukup menyengat tanpa terhalang awan. Prasasti singgah sebentar hanya untuk berpamitan dengan ayah Gayatri yang masih sibuk di kedainya.
Prasasti lalu mengambil kudanya yang ia tambatkan di halaman kedai, menaikinya setelah menyampirkan buntalan berisi berbagai bahan ramuan ke punggung kudanya, kemudian menghelanya ke luar desa.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...