Bab LXIII

1.7K 137 26
                                    


Ini pada akhirnya adalah keserakahan seseorang. Tidak. Bukanlah seorang manusia, melainkan bunian. Bagaimanapun juga ia merasa ialah di antara bangsanya yang seharusnya berada di atas segalanya. Di tempat yang paling atas, yang tidak terjangkau, lalu mengendalikan semua dengan tangannya.

Ia tidak pernah menerima sebuah kekalahan, dalam wujud apapun, sekecil apapun. Selama ratusan tahun yang mengangkat dirinya dalam lautan jumawa, tidak pernah sekalipun ia melihat barang setitik lubang di matanya.

Hingga ia pun melewatkannya.

Ia lupa bahwa masih ada Dewata Agung yang seharusnya menjadi sesembahannya. Namun ia menyangkal keberadaannya. Dewata tidak pernah menampakkan wujudnya yang asli. Ia berlindung dalam wujud lain yang ia kehendaki. Kadang ia datang dalam wujud manusia, di waktu yang lain ia akan berwujud binatang bahkan tumbuhan kecil yang mudah terinjak. Atau menjelma sesuatu yang tidak terlihat seperti angin.

Di matanya, Dewata hanyalah sosok yang lemah tanpa wadag. Ia akan mudah menghilang seperti debu. Ia tidak memiliki kekuatan apapun dalam wujud asalnya. Selebihnya ia mengandalkan wadag kasar untuk menampung segala kemampuan dewanya.

Hanya dirinyalah yang nyata dengan segala kekuatannya.

Tidak ada satu bunian ataupun manusia yang mampu mengalahkannya. Bahkan juga saudara kandungnya.

Ia, akhirnya, melebur saudaranya sendiri menjadi debu, puluhan tahun yang lalu. Itu sebelum ia sadar bahwa perbuatannya adalah suatu kegagalan.

Ketika akhirnya saudaranya muncul kembali, ia pun goyah. Kedudukannya yang terhormat hanya bertahan dalam hitungan musim. Kekalahannya adalah simbol bahwa ia bukan lagi penguasa.

Karena itulah ia pun menyusun kekuatan kembali jauh di kesunyian gunung, mengalirkannya pada penerusnya agar suatu ketika nanti ia mampu merebut kembali posisi puncak di dunianya.

Lalu ia pun kembali runtuh saat benih yang ia rawat diambil paksa, dicabut langsung dari jiwanya dan dilemparkan jauh entah kemana.

Uma sangat terpuruk saat itu. Kekuatannya hilang hingga hampir pada titik kosong. Ia sampai harus menjebak seorang manusia untuk menyelamatkan diri dari kemusnahannya.

Manusia tidak beruntung itu adalah Kumba Adwaya. Seorang pengelana yang tidak sengaja menemukannya di puncak gunung. Ia hampir berhasil memperdaya sang ksatria andaikata putri Buni Mwara tidak datang tepat waktu dan menyelamatkannya.

Hal yang tidak terduga itu menambah panjang rangkaian kegagalannya yang mana hal itu menerbitkan dendam yang tak berkesudahan. Ia membenci kedua manusia itu dan bersumpah akan menghancurkan mereka.

Ia menggunakan manusia lainnya dalam keadaan terpaksa karena dengan kekuatannya sekarang ia tak mampu melakukan itu dalam wujud aslinya. Cih, apa bedanya ia dengan Dewata yang lemah itu sekarang.

Tidak. Uma menyangkalnya. Ia melakukan ini dalam keadaan terpaksa, saat ia hanya bunian yang tak berdaya, yang hanya bernilai sebutir kerikil di hadapan Upaswala yang agung. Sedangkan Dewata, ia melakukan hal itu sepanjang waktu. Tentu saja itu tidak bisa disamakan dengan dirinya.

Hanya sekali saja. Ia berjanji hanya kali ini saja. Dan ia pun berhasil melaksanakan niatnya. Ia berhasil menghancurkan kedua manusia itu. Dengan senyum liciknya ia menggelar kepuasan di wajahnya yang cantik sekaligus kejam.

Ia berhasil membuat putri Buni itu menangisi mayat Kumba. Dan ia pula yang berdiri di belakang Jnanashiwa saat laki-laki ambisius itu menghabisi nyawa saudaranya. Oh, betapa Uma sangat puas dengan itu semua.

Tidak. Ini belum selesai. Target utamanya sama sekali belum tersentuh. Upaswala.

Untuk ini ia memerlukan kekuatan gelapnya yang sayangnya telah direnggut darinya saat ia masih berujud janin. Uma menggeram. Lagi-lagi Upaswala yang menghalangi jalannya. Bunian keparat itu sudah merampas anaknya dan membuangnya entah kemana. Karena itulah ia harus rela mengubur dirinya di puncak yang sunyi untuk mempertahankan diri.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang