Uma berjalan dengan menghentakkan kaki menuju istana bunian begitu didengarnya Upaswala telah kembali ke kerajaan. Serta merta ia memburu sang raja dan mendapati lelaki bermata merah itu tengah mengasah pedangnya.
"Apa kau menyebutkan namamu kepada manusia?" Tanya Uma dengan nada marah yang tidak dapat lagi ditahan.
Jemari Upaswala terhenti di tengah bilah pedangnya. "Kenapa?"
"Aku tanya apakah kau memberi tahu namamu pada manusia? Jawab iya atau tidak."
Upa membuang muka dengan malas. Selalu saja seperti itu bila Uma datang padanya. Mereka tidak pernah akur sejak dilahirkan.
"Bukan urusanmu."
Uma meradang. "Apa kau tahu kau sudah membuat istana terguncang? Semua kacau balau karena kelakuan bodohmu itu. Untuk apa kau sebutkan namamu pada manusia? Apa kau mau istana ini hancur?"
Sebegitu besar pengaruh yang ditimbulkan jika seorang bunian memberitahu jatidiri mereka kepada manusia. Hingga tidak heran jika Upaswala hampir melampiaskan amarahnya pada Prasasti sewaktu gadis itu menanyakan namanya.
Namun Upaswala menahan diri. Prasasti adalah anak Hyaning, saudara lahirnya. Jadi dia bukanlah orang lain. Hanya saja, gadis itu adalah anak manusia, bukan bunian seperti dirinya.
Konsekuensi akan terguncangnya istana sudah diperhitungkan Sang Raja. Karenanya ia hanya menyebut sebagian namanya saja. Jika tidak, dan ia menyebut nama panjangnya maka seluruh istana akan terguncang.
"Aku tahu."
"Kau tahu dan bersikap seolah-olah itu bukan apa-apa. Apa kau tidak bisa bertindak sedikit waras? Kita bersepakat dengan manusia bukan berarti kita harus selalu mengalah pada mereka."
"Siapa yang kau bicarakan?"
"Tentu saja kau, Upaswala yang agung. Sekaligus saudaraku yang bodoh. Kau benar-benar menyedihkan."
"Aku tidak pernah mengalah pada siapapun."
"Lalu apa namanya jika kau mau menyebutkan namamu pada manusia, hah?" Uma berkacak pinggang. Menatap Upaswala dengan amarah yang meluap-luap.
"Sudahlah. Aku tidak mau bertengkar denganmu." Upaswala menyeka pedangnya lalu menyarungkannya.
"Kalau kau selalu berbuat bodoh begini, bangsa kita akan selalu tertindas. Apa kau mengerti akan hal itu, Yang Mulia?"
Uma memberi tekanan saat mengatakan 'Yang Mulia'. Wajahnya sinis jika membicarakan tentang kekuasaan. Ia salah satu dari sedikit petinggi bunian yang menolak kekuasaan Raja Rimba Nagari. Ia ingin kaum bunian berada di atas manusia, bukan di bawah kendalinya.
"Kau lupa merekalah yang memuja dan memberi persembahan pada kita. Bukan sebaliknya."
Uma tertohok. Ia kehilangan kata-kata. Upaswala berkata benar. Tidak ada bunian yang menyembah manusia. Selama Upaswala memimpin, kaum bunian hidup dalam ketenteraman dan keselarasan. Tidak pernah ada huru-hara di kerajaan tersebut.
"Lalu apa kepentinganmu di Puranggahu?"
"Tidak ada."
"Kau tidak pandai berdusta, Yang Mulia. Dan kau membuatku jadi curiga."
"Pergilah. Aku sibuk."
"Aku tahu kau pergi bersama saudarimu itu kan? Kau pasti...."
Upasawala membuat ratu bunian yang cantik namun pemarah itu kehilangan kata-katanya. Ia lenyap begitu saja di hadapan Uma dan tidak memberi tanda atau jejak apapun.
"Hei pengecut. Jangan menghindariku. Aku belum selesai bicara denganmu."
Uma berteriak sia-sia. Bahkan bau darah segar dari kulit harimau yang dikenakan Upaswala pun tak tercium lagi. Bisa dipastikan ia pergi ke tempat yang jauh dalam sekelip mata.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Fiksi Sejarah"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...