Prabu Jnanashiwa melangkah dengan angkuh menuju singhasananya. Dia seorang yang berperawakan sedang, tidak begitu tinggi berkulit sawo matang dan wajahnya memancarkan aura kejam. Dia telah menjadi raja Puranggahu sejak 18 tahun yang lalu, menggantikan ayahandanya yang meninggal di medan perang. Dia baru pulang berperang mendampingi ayahnya menumpas pemberontakan di dekat Bhumijawa. Sayangnya sang raja pulang dalam keadaan tak bernyawa dan ia, yang mempunyai nama asli Aswadanu, berhasil menghabisi para pemberontak di sana.
Penguasa kerajaan Puranggahu adalah dinasti Jnana dan Prabu Jnanashiwa adalah raja keempat yang memegang tampuk kekuasaan di Puranggahu. Sebenarnya tahta itu bukan miliknya secara resmi pada awalnya. Putra mahkota yang adalah anak sulung raja telah memutuskan menjadi seorang brahmana bergelar Resi Jnanawidhi dan pergi menjadi guru besar di Suwarnadwipa. Sedangkan anak kedua yang seharusnya menggantikan putra mahkota telah meninggal di tanah bunian. Maka sang putra ketigalah, Pangeran Aswadanu, yang menaiki tahta dan menjadi raja Puranggahu hingga sekarang.
Seperti ayahnya dulu, Prabu Jnanashiwa juga gemar berperang. Wilayah taklukannya semakin luas. Tiap tahun mereka akan mengirim upeti ke istana sebagai tanda taklukan, tanda pengakuan akan kebesaran Puranggahu dan menjadikan Purana sebagai istana yang semakin megah dan mengagumkan, . Namun ada satu peraturan yang tak boleh dilanggar. Rakyat Puranggahu tidak boleh keluar dari wilayah kerajaan dan orang luar tidak diperkenankan masuk ke wilayah Purana kecuali dia seorang caraka atau pengirim upeti.
Purana adalah kutaraja, ibukota kerajaan Puranggahu yang terletak di tengah pulau. Di sana berdiri istana raja yang indah dan sangat luas. Sekelilingnya dipagari benteng yang tinggi dan dijaga para prajurit sehari semalam penuh secara bergiliran tanpa henti. Di luar benteng dialiri parit yang cukup lebar berair jernih. Bangunan istana berdiri di atas tiang berukir dan beratap daun nipah yang tersusun indah. Disana ada istana tempat tinggal raja, ratu dan para selirnya juga bangunan ksatrian untuk para putra-putri raja. Bangunan kepatihan dan para punggawa ada di sisi lain istana. Balairung istana tempat raja mengadakan pertemuan berada tepat di depan gerbang istana dipisahkan oleh alun-alun yang sangat luas. Singhasana raja yang ada di dalam balairung terbuat dari gading dan bertatahkan emas yang berkilauan. Dan di sanalah Prabu Jnanashiwa sekarang. Duduk dengan dada tegak mengedarkan pandang ke seluruh ruang istana. Para punggawanya tertunduk takut. Hanya tangan kanannya yang terpercaya, panglima perangnya, yang sepertinya tidak merasakan aura menakutkan sang raja.
Jnanashiwa tersenyum puas melihat para punggawanya tertunduk khidmat menantinya. Lalu ia menoleh pada panglimanya. "Apakah benar Gangsingan tidak mau membayar upeti tahun ini, Ragawa?" Tanyanya setengah murka. Dia memang sangat membenci para pembangkang.
Ragawa, patihnya yang telah bersamanya sejak Aswadanu belum jadi raja memandangnya datar. Dia seorang pria yang lebih terkendali dibandingkan rajanya yang temperamen dan meledak-ledak. Mengenai upeti itu, dia berkata, "Gangsingan mengalami musim kemarau panjang, Yang Mulia. Tahun ini mereka tidak menghasilkan apa-apa. Sejak pemerintahannya digulingkan, ini tahun kedua mereka tidak memiliki hasil untuk diserahkan pada kita."
"Hmmm...." Jnanashiwa mengusap janggutnya merasa tidak puas. Dia sudah mendengar tentang itu sebelumnya.
Dulu dia sendiri yang membantu ayahnya menggulingkan raja Gangsingan dan menjadikannya wilayah taklukan Puranggahu. Kerajaan itu terletak di tepi laut utara dan kaya akan jewawut. Setiap tahun mereka mengirimkan jewawut dalam jumlah yang sangat banyak sebagai upeti untuk Puranggahu. Namun dua tahun ini mereka tak lagi mengirimkan satu pedati pun dan itu yang membuat Jnanashiwa murka.
"Kau tahu aku tidak suka seorang pembangkang. Pergi dan katakan pada raja mereka serahkan apapun yang mereka punya padaku."
Ragawa baru saja hendak buka mulut ketika seorang prajurit memasuki pintu istana dengan terengah-engah. Semua yang di sana menoleh padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...