Prasasti masih juga didera rasa sakit di dada kirinya. Ia sungguh tak mengerti dari mana datangnya rasa sakit itu. Dia sudah mencoba bersemadi namun tak mendapat petunjuk apapun.
Kesal karena tak kunjung mengetahui penyebabnya, ia pun keluar rumah, mengambil kudanya dan memacunya tanpa tujuan. Ia bahkan tak berpamitan pada Warih ketika meninggalkan pesanggrahan.
Ia melaju membelah angin. Melewati hutan dan perbukitan. Mengabaikan terik kemarau dan dipayungi awan ketika senjakala tiba. Tubuhnya menjerit lelah dan ia sadar hari mulai gelap. Kudanya meringkik kuat ketika mendadak tali kekangnya ia tarik.
Ia tak tahu di mana ia berpijak sekarang. Tak ada dukuh ataupun setidaknya satu pondok terlantar di tengah hutan. Ia benar-benar sendiri dikelilingi hutan. Satu desa kecil sudah dilewatinya siang tadi. Dan sekarang ia tak tahu ia hendak kemana. Dibiarkannya kuda yang menemaninya berjalan sesuka hati sambil memakan rumput kering. Prasasti terduduk lesu di atas tunggangannya.
"Maaf aku lupa kau belum makan." Prasasti mengelus leher kuda kesayangannya. "Nikmati makan malammu. Aku mau tidur sebentar."
Kemudian ia melompat turun dan melangkah ke pohon besar tak jauh darinya. Duduk merosot seolah tak bertenaga. Dadanya begitu nyeri seperti diremas-remas. Sakit seolah ada ribuan pisau merajam tanpa ampun. Dan seperti terkena sirep, ia pun jatuh tertidur dalam sekejap. Tidur yang begitu dalam, menenggelamkan kesadarannya ke palung paling jauh hingga tak tersentuh.
Alam seperti berebut menidurkannya. Dingin yang menggigit, angin yang semilir basah dan suara binatang malam melenakannya dalam mimpi.
Di angkasa awan kelabu bergantung menghalangi kerlip bintang. Bulan menghilang entah kemana menjadikan malam semakin gulita. Kabut tipis melayang-layang mengantarkan kesejukan angin gunung.
Menjelang pagi yang semakin pekat, hujan pertama akhirnya turun setelah kemarau panjang merajai musim. Prasasti tidak menyaksikan semua itu apalagi merasakannya. Saat kesadaran merenggutnya dari kedalaman mimpi, ia mengerjap dalam keremangan.
Perlu beberapa tarikan napas sampai ia berhasil menyusun kesadaran dan melihat sekeliling. Temaram obor di sudut ruang menyadarkannya ia telah berpindah tempat. Rasa herannya terbit. Ia yakin ia tertidur di dalam hutan di bawah pohon dan meninggalkan kudanya makan tak jauh darinya.
Namun sekarang, ia terjaga di sebuah ruangan yang temaram. Ini seperti sebuah bilik berdinding batu. Bilik siapa? Kenapa ia bisa tiba-tiba ada di sini? Jika ada yang membawanya kemari, bagaimana ia sampai tak sadar telah dibawa pergi?
Ruangan itu kemudian disadarinya adalah sebuah gua. Hawa lembab dan dingin meyakinkannya. Suara tetesan air didengarnya entah di bagian mana. Prasasti beringsut turun dari batu pipih tempat tidurnya semalam. Dengan bantuan cahaya remang dari obor yang kehabisan minyak ia melangkah keluar.
Gua itu tidak panjang. Dalam beberapa langkah ia menikung ke kanan dan tak jauh dari sana pintu gua terlihat lebih terang. Sepertinya hari telah siang.
Ada seseorang yang duduk bersila di dekat pintu gua menghadapi bekas perapian yang telah padam. Prasasti tak mengenalinya.
"Kau sudah bangun?"
Sapaan itu membuat Prasasti terlonjak. Ia bertanya-tanya dalam hati bagaimana ia bisa berada di dalam gua bersama orang asing itu. Mendadak rasa takut menyelinap di hatinya. Jika ada yang tahu ia bersama orang asing, maka hukuman mati akan segera menghadangnya.
"Siapa kau?" Prasasti bergetar. Ia merasakan aura yang kuat memancar dari diri orang asing itu.
Sayang sekali orang itu membelakangi cahaya hingga Prasasti tak dapat melihat jelas bagaimana rupanya. Namun ia tahu orang itu tengah memandangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...