Prasasti menyandarkan punggungnya ke dinding pakunjaran. Rasanya amat lega melihat Ranggadewa lolos dari Upaswala yang begitu mengerikan. Tadinya ia berpikir lelaki bermata merah itu akan menerkam Ranggadewa dan membantainya di depan matanya. Namun rupanya ia hanya berdiri di sana dan menebar ancaman saja. Entah Ranggadewa merasakannya atau tidak.
"Kupikir kau akan memangsanya tadi." Ujarnya pada Upaswala yang kini ikut duduk dalam pakunjaran, bersila di dekat dinding yang menyiku.
"Aku tidak memangsa manusia."
"Benarkah? Bukankah bunian suka memakan daging manusia?"
"Tidak semuanya."
"Oh." Prasasti mendesah lega. Setidaknya ia tak lagi was-was dirinya akan jadi sasaran berikutnya.
Ia memperhatikan Upaswala yang tengah memejamkan mata. Pria itu tidak tampak buas seperti bunian pada umumnya. Penampilannya seperti manusia biasa, kecuali matanya yang mengerikan. Biarpun ia hanya berbalut kulit harimau, ia tidak terlihat mengancam saat menutup mata merahnya.
"Jadi, apa hubunganmu dengan ayah ibuku?"
Upaswala membuka matanya. Menatap langsung pada Prasasti. "Aku saudara ibumu."
Mata Prasasti membulat. "Benarkah? Maksudmu.....kau adalah pamanku?"
Upaswala mengangguk.
"Berarti ibuku juga seorang bunian?"
"Tidak."
"Apa maksudnya tidak? Kau jelas-jelas bunian kan?"
Upaswala menggerung laksana harimau. "Aku bunian yang dilahirkan oleh manusia. Aku dan ibumu berbagi tempat dalam kandungan nenekmu."
Kalimat itu membutuhkan beberapa waktu untuk dicerna Prasasti. Dia pernah mendengar cerita semacam itu tentang siluman buaya. Bahwa sang ratu buaya menitipkan telurnya pada manusia dan kemudian dilahirkan oleh bangsa manusia.
"Kau tidak perlu memanggilku paman."
Prasasti bengong. "Kenapa?"
"Tidak apa-apa."
"Lalu aku harus memanggilmu apa?"
Di negeri asalnya, seluruh makhluk penghuni rimba bunian memanggilnya Yang Mulia. Tidak lain karena Upaswala adalah raja bunian. Meskipun ia tidak menguasai Rimba Nagari, namun ialah penguasa tunggal tanah bunian di seberang.
Sementara Rimba Nagari yang merupakan kerajaan manusia dikuasai oleh Pangeran Julung, putra Buni Mwara.
"Tidak usah memanggilku apapun." Upaswala kemudian bangkit dan menembus jeruji penjara dengan mudah. Prasasti bangkit mengikutinya dan berhenti di depan jeruji kayu yang mengurungnya. Ia tidak mungkin melakukan hal yang dilakukan oleh bangsa bunian.
"Setidaknya, beritahukan namamu."
Mata merah lelaki itu langsung menyala. Hawa dingin langsung memenuhi ruangan. Biasanya hal itu terasa bila sang raja bunian itu tengah gusar atau marah. Prasasti bergidik oleh tatapannya yang dirasanya lebih mengerikan dari sebelumnya.
Ia tidak tahu bahwa menyebutkan nama adalah pantangan bagi bangsa bunian. Jika kau menyebutkan namamu pada orang lain maka sama saja kau memberi ijin padanya untuk menguasai atau menaklukkanmu. Begitulah prinsip mereka.
Setelah terdiam beberapa saat, lelaki itu menghela napas kemudian berkata. "Upa."
Ketegangan di ruangan itu berakhir dan Prasasti bernapas lega. Ia tersenyum senang. "Kau pasti sudah tahu namaku kan? Namaku Prasasti. Kurasa ibuku sudah memberitahumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...