Bab XXVIII

2.1K 221 8
                                    

"Ranggadewa?" 

Prasasti menelan ludah. Kenapa Ranggadewa jauh lebih tampan dari sebelumnya? Apalagi jika ia tersenyum seperti itu. Sepertinya Kamajaya telah turun ke mayapada dan menjelma jadi manusia.

Ia mengingat-ingat kapan terakhir kali melihatnya.

Satu purnama yang lalu. Setelah ia sembuh dari lukanya akibat ajian Gada Agni milik Maruta. Ia pulang ke istana karena Jayantaka akan menikah dengan putri Patih Ragawa. Saat ia pergi dulu, ia berjanji akan menjemputnya untuk dibawa ke istana. Apakah sekarang?

Senyum Ranggadewa membuat hati Prasasti berantakan. Ia malu sekaligus terpesona. Bibirnya bergetar saat hatinya menyebut nama sang pangeran.

"Kenapa tak ikut ayahmu ke istana?"

Prasasti melirik Ranggadewa sekilas. "Aku......ada orang sakit yang harus kuobati."

"Bohong." Ranggadewa tersenyum melihat kekagetan di wajah Prasasti. Ia tak dapat menahan diri untuk tertawa. "Aku datang menjemputmu. Ayo ikut aku ke istana."

"Sekarang?"

"Tentu saja. Sebelum pesta pernikahan Jayantaka berakhir. Kau kan temannya, apa kau tak mau datang?"

Prasasti kebingungan menjawab. Ia tak punya jawaban yang pasti. Meskipun ia mengenal Jayantaka, tapi ia tak berani datang ke istana menghadiri pahargyan.

Gadis itu hanya bisa menunduk sambil memilin ujung kainnya. Tingkah gugupnya tak luput dari perhatian Ranggadewa.

Sang Putra Mahkota lalu bergerak menarik lembut tangan Prasasti. "Ayolah. Aku yakin Jayantaka pasti senang jika kau datang. Dan aku juga akan membawamu menemui ayahanda Prabu."

Prasasti menoleh dan memandang Ranggadewa tak percaya. Ada rasa takut dan gugup menyeruak di hatinya. Bertemu sang Prabu? Yang benar saja. Prasasti serasa tak memijak tanah mengikuti bimbingan tangan Ranggadewa melangkah.

Mereka masuk ke dalam pondok dan menemui Warih. Lelaki tua itu tengah duduk di pendapa memberikan wejangan pada para murid pesanggrahan. Melihat Ranggadewa datang, para murid itu langsung menghaturkan sembah. Warih telah memberitahu mereka bahwa semalam yang datang ke pesanggrahan adalah putra mahkota Puranggahu.

"Paman, mana Darupalla?" tanya Ranggadewa saat memasuki pendapa dan tak melihat pengawalnya. Ia tak melepaskan tangan Prasasti ketika para murid Resi Gaharu melirik sambil menahan senyum di bibir mereka.

"Ada di kandang kuda, Raden."

"Aku akan berangkat ke istana hari ini, Paman. Prasasti akan ikut denganku."

Warih tersenyum sabar. Ia tahu bahwa putra mahkota Puranggahu itu berkenan pada putri gurunya. "Prasasti baru saja sampai pesanggrahan, Raden. Apa tidak sebaiknya menunggu besok pagi agar dia bisa istirahat dulu?"

Ranggadewa menoleh pada gadis di sampingnya yang sedari tadi terdiam dengan muka memerah dan menghindari pandangan para murid Resi Gaharu. "Bagaimana, Sayang?"

Prasasti menyentak kepalanya ke samping dengan muka merah padam. Ia mendelik, berusaha melepas tangannya dari genggaman Ranggadewa. Dan ia gagal. Ranggadewa menaikkan alis sambil menahan senyum.

"Awas kau," desis Prasasti kesal.

Ranggadewa tak mempedulikannya. Ia beralih pada Warih. "Baiklah, aku akan tinggal disini sehari lagi."

Warih mengangguk. Dan melihat kedua anak muda itu keluar dari pendapa sambil tersenyum bahagia. Ia memang tak sewaskita gurunya yang bisa melihat jauh ke depan, ia hanya berharap masa depan Puranggahu lebih cerah di tangan keduanya.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang