Mata sang Dewi membulat. Berkilat di bawah terpaan sinar bulan yang keemasan. "Apa maksudmu, Prasasti?"
Itu jelas nada terkejut yang ditujukan bagi orang yang dikenal. Namun jadi mengherankan karena setahu Prasasti gurunya tak kenal dengan ayahnya. Ayah angkatnya, ralatnya. Ia berguru pada sang Dewi tanpa sepengetahuan Gaharu.
Prasasti tak sempat memikirkan alasan di balik reaksi gurunya. Ia terlalu cemas tentang nasib ayahnya setelah tahu Purnala sudah mendekam di penjara. Prabu Jnanashiwa pasti akan menghabisinya lalu mencari orang-orang yang berkaitan dengannya.
"Dia minta perlindungan ayah saya. Dan Prabu Jnanashiwa pasti akan mencari semua orang yang berhubungan dengannya. Keluarganya. Temannya. Siapapun." Prasasti mengatakan dengan perasaan ngeri.
Setelah orang itu dibunuh, Sang Prabu akan memerintahkan para prajuritnya untuk menghabisi mereka juga. Termasuk ayahnya karena melindungi seorang buronan.
Perempuan bercadar itu menghela napas seolah ada yang memberati paru-parunya. Dilihatnya wajah cemas muridnya yang membuat hatinya tertusuk. Di balik cadarnya ia tersenyum kecut.
"Lalu apa yang kau inginkan sekarang?" Kalimat itu seolah memberi harapan pada Prasasti.
"Apakah ada jalan, Dewi? Maksud saya....saya tak ingin ayah saya celaka karena pemuda itu."
Sang Dewi diam beberapa saat, tampak berpikir. Apa yang baru saja disampaikan Prasasti tidak sulit dimengerti. Hanya membuatnya terkejut saja.
Jnanashiwa sudah pasti akan menjatuhkan hukuman mati pada pemuda itu kemudian mencari keluarganya untuk dihabisinya juga. Tak ketinggalan orang-orang yang melindunginya ketika pencarian akan dirinya dilakukan di seluruh pelosok Puranggahu.
Dan Resi Gaharu termasuk di dalamnya. Ia salah satu orang yang telah melindungi pemuda itu. Itu artinya Gaharu juga akan dijatuhi hukuman oleh Jnanashiwa tanpa memandang bahwa resi itu cukup dekat dengan kalangan kedaton. Bukan tak mungkin Jnanashiwa akan membunuhnya juga. Raja kejam itu bahkan tega membunuhnya saudaranya sendiri. Jangankan hanya teman baik seperti Gaharu.
Memikirkan semua itu membuat hati sang Dewi kembali sakit. Ia teringat suaminya yang terbunuh di tangan Jnanashiwa enam belas tahun yang lalu. Menahan marahnya ia menggigit bibirnya di balik cadar. Tentu saja Prasasti tak tahu. Sang Dewi membelakangi cahaya bulan. Air mukanya tak tampak di balik cadarnya.
"Kau mau bicara pada pemuda itu?"
Prasasti mengangguk ragu. Dia bingung dan merasa cemas.
"Ikut aku."
Sang Dewi menarik tangan Prasasti dan berjalan di bawah bayangan pepohonan menuju ke samping istana. Di sana ada gapura kecil yang dijaga dua prajurit.
Mereka berhenti tak jauh dari gapura, berlindung di balik pohon besar. Sang Dewi memejamkan mata sejenak, merapalkan mantra. Dalam sekejap kedua prajurit penjaga itu ambruk ke tanah bersamaan sang Dewi membuka mata.
"Ayo cepat masuk."
Prasasti mengikuti langkah gurunya. Mereka masuk ke dalam kedaton. Menyisir bagian samping yang luput dari penjagaan. Dari caranya berjalan yang begitu pasti sepertinya sang Dewi telah mengenal seluk beluk lingkungan kedaton dengan baik.
Keduanya sampai di bagian belakang kedaton tanpa ketahuan.
"Pakunjaran itu ada di sana." Tunjuk sang Dewi ke arah bangunan yang menghadap ke barat memunggungi terbitnya bulan.
Ada beberapa prajurit yang berjaga disana. Dan kali ini mereka pun terkena mantra ampuh sang Dewi. Mereka ambruk tanpa suara sehingga tak memancing orang lain datang. Dengan mudah Prasasti dibawa gurunya memasuki pakunjaran itu.
Sebuah bangunan yang nampak kokoh dan gelap. Obor hanya beberapa di dalamnya. Setidaknya cukup menerangi jalan di mana pemuda bernama Purnala itu disekap.
"Bagaimana Dewi tahu tempat ini?" Prasasti tak dapat menahan rasa penasarannya.
Ditolehnya sekilas murid satu-satunya itu. Mereka berjalan menelusuri lorong yang dengan bodohnya tidak dijaga seorang prajurit pun.
"Aku tahu sudah lama."
Jawabannya menegaskan tak ada lagi pertanyaan selanjutnya. Begitu nada suara Dewi dalam ketegasannya yang halus.
Prasasti diam. Tahu bahwa gurunya tak akan menjelaskan apa pun lagi. Dia hanya mengikuti langkahnya hingga depan ruangan di mana Purnala ditahan.
Dan pemuda itu memang disana. Dalam ruang yang ditutup pagar besi dan dikunci. Sedang duduk bersila memejamkan mata. Bersemadi. Wajahnya tampak tenang dan tak terlihat takut sama sekali. Sepertinya dia memang memilih menyerahkan diri. Keputusan yang berani dan ksatria.
Prasasti hendak melangkah mendekati pintu jeruji namun gurunya menahan. Prasasti menoleh dengan pandangan bertanya.
"Ada yang datang." Bisik sang Dewi waspada.
Dan kemudian langkah kaki terdengar. Bukan seorang tapi beberapa orang.
"Sebelah sana, Raden." Terdengar suara seseorang.
Prasasti memandang gurunya. Bagaimana ini? Tak ada jalan keluar. Ruang itu ada di bagian paling ujung. Mereka akan ketahuan.
Tiba-tiba sang Dewi menarik tangannya dan melemparkan selendangnya ke tubuh Prasasti. "Diam dan jangan bergerak."
Mereka menepi ke sudut di seberang pintu jeruji besi itu. Dan saat itu dari tikungan muncul beberapa orang ke arah mereka. Prasasti terbelalak.
"Jayantaka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
أدب تاريخي"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...