"Sepertinya kita harus berpisah di sini."
Kata perempuan itu mengejutkan pemuda di sampingnya. Mereka serentak berhenti berjalan tanpa dikomando. Pemuda itu menoleh.
Ia berpakaian prajurit. Bertubuh tinggi dan gagah. Wajahnya bersinar dan aura muda yang memancar dari tubuhnya menebar semangat yang membara.
"Kenapa?"
Ia bertanya pada sang perempuan yang tersenyum lembut padanya.
"Aku harus menemui seseorang. Jadi aku tidak bisa menemanimu ke istana."
Pemuda itu menghela napas. Namun ia tak bertanya siapa yang akan ditemui olehnya. "Biar saya antarkan ibunda sebelum ke istana."
Perempuan itu menggeleng. Ia menyentuh pundak putranya. "Tidak perlu. Kau harus secepatnya sampai di istana. Tugasmu lebih penting."
"Tapi, Ibunda...."
Lagi-lagi perempuan itu menggeleng. "Tidak, Pratiksa. Pergilah sekarang. Kudamu sudah menunggu."
Jika sudah begitu, tak ada yang bisa dikatakan lagi. Pemuda itu, Pratiksa, sangat tahu bagaimana ibunya. Ia perempuan yang kuat dan mandiri. Perempuan yang sepanjang hidupnya tak pernah mengeluh mengasuhnya sendirian.
Ia tak pernah mengenal ayahnya. Ibunya hanya berkata bahwa ayahnya dulu juga seorang prajurit dan meninggal dalam tugas. Sejak ia tahu hal itu beberapa tahun lalu ia tak pernah lagi bertanya.
Baginya sudah cukup ia dilimpahi kasih sayang ibunya. Ia sangat menghormati dan mencintainya, dan selalu menyempatkan diri pulang di sela-sela tugasnya sebagai prajurit. Seperti sekarang ini.
"Baiklah. Saya berangkat sekarang."
Sang ibu mengangguk. Menatap putranya yang bergerak sigap naik ke punggung kudanya. Pratiksa berpamitan sebelum menderap kudanya menuju istana.
Tak sampai setengah hari Pratiksa sudah tiba di kedaton Purana. Ia langsung menuju kediaman Patih Ragawa. Beberapa prajurit baru keluar dari sana ketika ia turun dari kudanya. Mereka mengangguk padanya.
"Gusti Patih ada?" tanya Pratiksa dan dijawab oleh salah satu dari mereka.
"Ada. Silakan masuk."
Pratiksa mengangguk dan segera masuk. Orang yang dicarinya tengah berdiri menghadap jendela. Di seberangnya pemandangan alun-alun tergelar dengan sudut yang sempit namun sangat menentukan.
"Hamba menghadap Gusti Patih."
Ragawa berbalik begitu seseorang bersuara. Pratiksa berdiri di dekat pintu seraya membungkuk hormat.
"Pratiksa, kemarilah." Ragawa melambaikan tangan menyuruh pemuda itu mendekat. "Apa yang akan kaulaporkan?"
"Sejauh ini keadaan aman, Gusti. Hanya satu tamu yang belum datang. Dari Kambangan Petak. Yang lain telah datang. Kami sudah memberikan tempat yang Gusti minta."
Patih itu tampak puas. Namun sorot matanya tetap waspada. "Kau yakin mereka tidak disusupi orang asing?"
Perintah yang diberikan Prabu Jnanashiwa adalah titah leluhur Jnana yang tidak memperbolehkan orang asing memasuki wilayah kerajaaan Puranggahu. Jnanashiwa menerjemahkannya dengan sangat ketat. Belasan tahun Puranggahu aman dari gangguan karena siapa pun yang mencurigakan akan langsung dibersihkan tanpa sisa.
Peraturan menakutkan itu bergaung ke negeri lain membuat mereka berpikir ulang untuk memasuki wilayah Puranggahu. Hanya caraka yang membawa lencana kerajaan asal yang diijinkan memasuki Purana yang megah.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...