Lindu mengguncang bumi seketika. Tempatnya berdiri bergetar hebat, membuat Patih Ragawa hampir saja terjatuh. Tubuhnya gemetar oleh rasa terkejut yang menghantam dadanya.
"Apa katamu? Putriku menghilang?"
Prajurit yang membawa laporan padanya tergagap oleh rasa takutnya pada Patih Ragawa yang meradang. Ia menyembah dengan tangan bergetar dan wajah yang tertunduk dalam.
"Bagaimana mungkin?" sembur Ragawa emosi. Seumur hidupnya ia tak pernah memperlihatkan emosi. Ia seorang pria yang begitu santun dan terkendali. Ialah air yang selalu mampu meredakan tiap ledakan api kemarahan Prabu Jnanashiwa.
Ia adalah lambang Brahma yang tenang dan damai. Memandang tiap jiwa dengan keluasan hati yang legawa. Memahami setiap situasi dengan keheningan sukma yang mengalun seperti angin pagi. Ia adalah keteduhan yang memayungi Puranggahu.
Namun sekarang segalanya mendadak lenyap. Air yang tenang itu telah berselimut api. Wajah teduhnya gusar, merah padam. Ada amarah yang menguar dari tubuhnya dibarengi rasa khawatir yang mendalam. Ia khawatir akan reaksi Prabu Jnanashiwa.
Jika ia tak dapat membawa putrinya ke istana untuk disandingkan dengan Pangeran Jayantaka, tentu sang Raja Puranggahu akan sangat murka. Ia tak takut menggadaikan nyawa namun kemuliaan dan nama baik Rajanya adalah di atas segalanya. Dalam sumpahnya ia telah menyebutkan tidak akan pernah membuat malu rajanya.
Dan bila esok mempelai sang putra raja tak hadir, ia tak dapat membayangkan bagaimana seorang Jnanashiwa murka karena merasa dipermalukan. Ragawa mengatupkan gerahamnya kuat-kuat.
"Jangan sampai pihak kedaton agung tahu. Kerahkan semua prajurit untuk mencari putriku. Mengerti?"
Kepala prajurit itu menyembah khidmat. "Hamba, Gusti Patih." Ujarnya sebelum beringsut keluar dan bergegas melaksanakan perintah sang Patih.
Sepeninggal prajurit yang memberinya laporan yang membuatnya bak disambar petir, Ragawa disergap gelisah panjang. Ia mondar mandir di ruangan besar dalam rumahnya tempat ia biasa menemui para bawahannya.
Mendung menyelimuti wajahnya. Lelaki paruh baya itu merasa runtuh. Laksmidara adalah putrinya, putri satu-satunya, tempatnya melimpahkan kasih sayang sejak ia masih dalam rahim istrinya. Sungguh tak dapat dibayangkan bagaimana anak gadisnya itu tiba-tiba menghilang begitu saja menjelang hari perkawinannya.
Ia hilang kemana? Dan kenapa bisa?
Sejak kecil hingga remaja Laksmidara tak pernah keluar istana kepatihan tanpa sepengetahuannya. Kemanapun ia pergi selalu ada dayang dan prajurit yang mengawalnya. Jadi, bagaimana ia bisa tiba-tiba menghilang?
Ragawa menghela napas panjang sebelum bergegas menuju bilik istrinya, Dyah Harini. Bilik itu terletak di sayap kiri bangunan. Suasana terlihat agak sibuk oleh para dayang dan abdi dalem yang tengah mempersiapkan upacara pernikahan putri sang Patih dan Pangeran Jayantaka.
Diam-diam sang Patih merasa sedikit lega oleh suasana rumahnya yang lebih sibuk dari biasanya. Dilihat dari kesibukan mereka tampaknya ketiadaan tuan putri mereka belum diketahui. Langkahnya diperlebar menuju bilik sang istri. Begitu membuka pintu, ia tertegun mendapati istrinya seorang diri tengah bersimpuh di depan meja batu yang penuh sesajen. Ia tak mencium aroma dupa melainkan wangi kembang setaman yang memenuhi bejana perak di sudut meja.
"Rayi."
Dyah Harini menoleh. Wajahnya yang lembut terlihat sedih. Ia beringsut menghadap pada suaminya. "Kanda Patih."
Ragawa merendahkan tubuhnya sejajar dengan Harini. Hatinya tawar melihat sinar di wajah istrinya menghilang. Hanya ada kesedihan dan ketakutan di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Historical Fiction"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...