Jnanashiwa menatap pemuda itu dengan pandangan setajam pedang. Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak suka. Namun di dalam kepalanya penuh tanya. Ada masalah apa pemuda itu menghadapnya sekarang.
"Katakan apa maumu datang kemari." Jnanashiwa dengan suara angkuhnya langsung menodongnya tanpa basa basi. Sebenarnya dia memang tak suka basa-basi. Dia lebih suka mengintimidasi siapapun lawan bicaranya.
Wajah raja Puranggahu itu mengerut tak senang. Pemuda di depannya begitu tenang. Sama sekali tak menyiratkan rasa takut. Dia menyembah khidmat dengan sempurna. Sosoknya menarik. Pakaiannya pun bagus. Gerakannya terlihat seperti golongan bangsawan. Jnanashiwa penasaran siapa sebenarnya pemuda itu.
"Ampun Gusti, hamba datang untuk menyerahkan diri."
Mata Jnanashiwa langsung melebar. "Apa kesalahanmu?"
"Hamba yang telah memanah Raden Jayantaka."
Seisi balairung istana terkejut. Bahkan Jnanashiwa tersentak berdiri. Wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak.
"Kau? Jadi kau orangnya?"
Pemuda itu menyembah lagi. Kali ini wajahnya terlihat bersalah. "Hamba tahu hamba patut mendapat hukuman. Karena itu hamba datang menyerahkan diri. Tapi ada satu hal yang perlu Gusti Prabu ketahui. Hamba tidak sengaja memanah Raden Jayantaka. Saat itu sasaran hamba seekor kijang dan hamba sama sekali tak menduga kalau kijang itu jelmaan Raden Jayantaka."
Jnanashiwa menggeram bak singa yang kedatangan musuh. Matanya menyala-nyala penuh murka. "Seret dia ke pakunjaran sekarang. Dan besok aku mau lihat dia mati di tangan pasukan panah!"
Hukuman telah dijatuhkan. Pemuda itu memejamkan mata sejenak mendengar hukuman yang akan diterimanya besok. Mati di tangan pasukan panah. Itu artinya ia akan merelakan tubuhnya jadi sasaran puluhan anak panah. Ia tak sempat membayangkan apapun lagi. Dua prajurit segera menarik kedua lengannya dan menggiringnya keluar balairung.
Pemuda itu sungguh membuatnya seperti terbakar. Dia terlalu berani. Dia datang sendiri ke hadapannya, mengakui perbuatannya dan sepertinya ia siap mati sebagai hukumannya. Diam-diam Jnanashiwa memujinya. Memuji sikap ksatrianya dan keberaniannya. Juga ketenangannya yang membuat Jnanashiwa muak. Dia tidak suka jenis orang seperti itu.
Terbit rasa penasaran akan jati diri pemuda itu. Ksatria dari manakah dia? Siapa orang tuanya dan dimana keluarganya. Jnanashiwa yang dikuasai amarah bersumpah akan mencari keluarga pemuda itu dan juga menghabisinya setelah menghukum mati pemuda itu besok.
Dia menoleh pada kepala pengawal kerajaan. "Hukum dia di alun-alun. Penuhi tubuhnya dengan anak panah."
*******
Begitu Jnanashiwa keluar bilik, Ragawa berpaling pada Jayantaka. Ia tersenyum kebapakan. "Saya amat gembira akhirnya Raden siuman. Kami semua sangat mengkhawatirkan keadaan Raden."
Jayantaka meringis. Lukanya masih terasa sakit. "Terima kasih, Paman."
Pangeran itu cukup dekat dengan tangan kanan ayahandanya. Ia mengenal Ragawa sejak kecil sebagai sosok yang hangat dan kebapakan. Rasa setianya yang mengagumkan pada rajanya. Juga pengabdiannya pada Puranggahu. Tak ada orang lain yang mampu menandinginya.
"Paman, sudah berapa lama saya pingsan?"
Ragawa memiringkan kepalanya. "Empat hari, Raden. Selama itu Raden tidak menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Ibunda Raden menangis tiap hari."
Ibundanya. Wanita yang paling dihormatinya itu pasti sedih selama ia tak sadarkan diri. Dia tahu itu. Dia dapat membayangkan bagaimana ibundanya melewati waktu tiga hari itu dengan hati tersayat-sayat.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Ficción histórica"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...