Prasasti menentang bagaskara yang memerah di langit barat. Sang mata dewa menatapnya dengan lelah namun indah.
Ia sudah menunggu hingga surya tergelincir mendekati cakrawala untuk memastikan pondok itu tidak ada penghuninya. Atau jika ada pun, ia akan meminta ijin untuk tinggal barang satu malam.
Pondok itu masih rapi walaupun agak kotor oleh sarang laba-laba. Sepertinya ia sudah ditinggalkan cukup lama. Hanya ada satu bilik di pondok dan ia mendapati ada kain tertinggal di sana.
Namun hingga malam tiba, tak ada seorang pun yang datang. Bahkan hingga malam berikutnya. Prasasti memutuskan menempati pondok itu untuk sementara sebelum ia mengambil keputusan pergi ke Rimba Nagari.
Ia sedang memikirkan apakah akan pergi secepatnya ataukah menunda beberapa hari lagi. Sebenarnya ia bahkan tidak punya alasan untuk menundanya. Selain karena ia tidak mempunyai apapun untuk dikerjakan, ia tak perlu menunggu siapapun juga.
Sekeluarnya ia dari pakunjaran, ia tidak punya tempat tinggal lagi. Desanya sudah terbakar. Begitu pun padepokan ayahnya, Resi Gaharu. Ia mungkin akan menemui ayah angkatnya dulu sebelum pergi ke Rimba Nagari.
Akan tetapi ia perlu tempat tinggal sementara dan beruntunglah ia menemukan pondok kosong itu. Ia sedang melatih kembali jurus-jurus yang sudah lama ia lupakan ketika suara derap kaki kuda mendekat.
Dari kejauhan ia melihat seorang penunggang kuda mendekat ke arah pondoknya. Prasasti menghentikan latihannya dan menunggu orang itu sampai.
Penunggang kuda itu menarik tali kekang, menyeimbangkan tubuh di atas punggung kudanya yang mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan berseru terkejut.
"Prasasti?"
"Pratiksa?" Gadis itu tak kalah terkejut. Siapa sangka ia bertemu lagi dengan saudaranya di sini.
Pratiksa melompat turun dari kudanya. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini."
"Pondok ini kosong. Sepertinya sudah lama ditinggalkan. Jadi kupikir aku bisa menempatinya sementara. Apa yang membawamu kemari? Bagaimana kabar paman Resi?"
Sebelum menjawab, Pratiksa mengedarkan pandang ke arah pondok. "Ini rumahku."
"Betulkah?" Prasasti tergugah. "Kebetulan sekali kalau begitu." Kemudian ia teringat akan kain yang tertinggal di dalam bilik. "Lalu, di mana ibu?"
Wajah Pratiksa berubah mendung membuat Prasasti heran. Ia mendekati saudaranya itu dan mengguncang bahunya.
"Hei, kau kenapa?"
"Maafkan aku, Prasasti. Ibu sudah tewas."
"Apa katamu?"
"Ini salahku. Beliau jatuh ke jurang yang sangat dalam. Aku tidak bisa menemukan jasadnya."
Bahu Prasasti merosot. Ia menarik napas dengan susah payah.
*****
"Menurutmu nenek itu bisa dipercaya?"
Jnanaloka bertanya pada pengawalnya, Darupalla. Ia tengah berdiri di banjar kedaton, menatap kereta kuda yang bergerak menuju gapura.
"Gusti Patih percaya padanya, Gusti Prabu," jawab sang pengawal takut-takut. Ia takut jawabannya akan membuat Jnanaloka naik angin.
Sejak ia tahu jatidiri Prasasti yang sebenarnya, raja yang masih muda usia itu sering sekali naik darah. Mudah marah dan tidak terkendali.
Siapapun akan merasa tertipu dan dikhianati jika seseorang yang dipercaya justru orang yang seharusnya dipenjara atau diasingkan selamanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Fiksi Sejarah"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...