Bab XXXVII

1.8K 190 10
                                    

Gadis kecil itu amat lincah berjalan. Ia bahkan nyaris berlari membuat pengasuhnya kewalahan mengejar. Kain yang mereka kenakan membuat mereka tak bisa leluasa bergerak mengikuti bocah itu.

Sementara si bocah makin menjauh sambil tertawa. Langkahnya yang gesit menghilang di balik tembok ksatrian yang tinggi dan megah. Para dayang kelimpungan mencarinya.

"Aduh, kemana ya Gusti Putri menghilang. Habislah kita. Pasti Gusti Ayu marah besar."

"Karena itu ayo kita cari lagi. Kalau tidak kita pasti dapat hukuman."

Keduanya lantas berpencar mencari tuan putri mereka dengan wajah panik dan ketakutan. Sementara yang mereka cari muncul dari kerimbunan semak sambil cekikikan dan menutup mulut dengan tangan mungilnya.

Kemudian ia bergegas masuk ke dalam ksatrian yang terlihat lengang. Beberapa lamanya ia berkeliaran di dalamnya, celingukan kesana kemari hingga matanya menangkap satu titik berhenti.

Ia melihat seseorang di sudut ruang. Duduk terpekur menghadapi seorang lainnya yang terbujur di amben kayu. Ia mendekatinya perlahan. Memperhatikan sejenak keduanya sebelum bersuara.

"Siapa dia?"

Seseorang yang tengah duduk terlonjak kaget. "Oh, Dinda Uttejana. Kau mengejutkan aku saja."

Gadis kecil itu, Uttejana hanya tersenyum seolah tak bersalah. Kilat matanya begitu riang dan jail. Ia baru berumur delapan tahun, dan ia adalah putri bungsu Prabu Jnanashiwa.

"Maaf, Kanda Jayantaka."

Wajahnya yang imut dan manis memasang raut tak bersalah. Jayantaka hanya tersenyum. "Kemarilah."

Uttejana mendekat ragu-ragu.

"Dia yang telah menyelamatkan aku. Jika tak ada dia, mungkin aku sudah mati."

Gadis itu mengernyit melihat orang yang terbujur tak bergerak di amben. "Kenapa badannya hitam semua, Kanda?"

Jayantaka tak begitu ingat kejadiannya. Ia tengah bertarung sengit dengan salah satu prajurit pilih tanding Kambangan Petak. Lawannya memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi sehingga sulit dikalahkan. Ditambah lagi serangan prajurit musuh yang ikut mengeroyoknya membuat ia kewalahan.

Ia tak menyadari sebuah serangan mematikan meluncur deras ke arahnya. Selanjutnya ia dihantam oleh tubuh seseorang dan mereka tumbang bersamaan.

Entah berapa lama waktu berlalu, rasa panas menyengatnya ketika kesadarannya pulih. Suara-suara riuh masih terdengar di sekeliling. Teriakan para prajurit yang tengah berperang diselingi desingan pedang dan lolong kematian membawa bau darah menyergap penciumannya.

Ia tak bisa bergerak. Tubuhnya tertindih. Susah payah ia membebaskan diri dari sosok yang menindihnya. Ia terkejut melihatnya. Sekujur tubuh itu telah menghitam. Pakaian prajuritnya koyak dimana-mana.

Jayantaka merasa kepalanya seolah mau pecah. Menyadari dirinya terluka dalam, ia menggeram putus asa. Tubuhnya bermandikan darah. Dan dengan kekuatannya yang tersisa ia mencoba bangkit.

Saat itulah Wulung datang dengan napas memburu. "Raden, mari pergi dari sini."

"Aku tidak bisa meninggalkan pasukanku, Wulung." Jayantaka meringis memegangi dadanya.

"Kita tak akan bisa bertahan lebih lama, Raden."

Dari kejauhan terdengar suara lantang Ranggadewa. "Mundur!"
Peperangan masih berlanjut beberapa saat sebelum suara gemerisik ranting patah riuh terdengar. Pasukannya mundur dari medan laga. Dan lari dikejar musuh.

Jayantaka mengumpat dalam hati. Kemarahan menyulut dadanya. Apa lagi yang lebih menyesakkan bagi seorang ksatria selain dikalahkan musuhnya di medan laga?

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang