Prasasti menatap gurunya seolah meminta penjelasan. Namun wanita bercadar itu tak mengatakan apapun. Pandangannya tertuju pada Jayantaka dan Purnala. Suara putra raja yang mendesak seolah kehabisan waktu dan alasan juga suara sang ksatria yang terdengar pasrah dalam ketenangannya yang menyiratkan rasa sesal.
Diam-diam Prasasti mencerna semuanya. Kenapa Jayantaka dan semua orang disana tak terlihat aneh. Seolah tak ada orang lain yang wujud di dekat mereka. Kenapa mereka tak dapat melihat ia dan gurunya berdiri di sudut, melihat dan mendengar seluruh percakapan kedua pemuda tampan itu.
Diliriknya selendang sang Dewi yang tersampir sembarangan di pundaknya, sebagian menutupi kepalanya. Dan Prasasti tahu jawabannya. Gurunya menggunakan aji panglimunan.
Dalam hati Prasasti tersenyum berterimakasih pada gurunya yang selalu tahu apa yang harus dilakukan di saat yang tepat. Ia mengagumi gurunya yang sakti dan waskita. Dilihatnya sang Dewi gurunya tengah menatap kedua pemuda itu dengan serius, jadi ia pun memutuskan hal yang sama. Ia mendengarkan percakapan Jayantaka dan Purnala dengan jantung berdebar.
Jayantaka membujuk Purnala dan memberinya jalan untuk pergi agar tak mendapat hukuman mati dari Prabu Jnanashiwa. Hal itu membuatnya heran. Sepertinya keduanya saling mengenal dan hubungan mereka cukup dekat hingga Jayantaka mau repot-repot datang memberinya kebebasan. Jayantaka membela Purnala. Sejujurnya Prasasti penasaran kenapa Jayantaka membela dan melindungi Purnala. Siapa Purnala itu sebenarnya? Dan di sisi lain, Prasasti merasa senang karenanya. Jika Purnala bebas maka ayahnya akan selamat.
Namun kalimat yang diucapkan Purnala sungguh mengecewakannya. "Maafkan saya, Raden. Saya tak ingin pergi. Saya akan menerima hukumannya."
Air muka Jayantaka mengungkapkan hal yang sama dengan apa yang dirasakannya. Prasasti memandang pangeran itu tanpa tahu harus berpikir apa lagi. Ia tahu Jayantaka juga kecewa dengan jawaban Purnala.
Ia melihat Jayantaka pergi dengan wajah muram. Salah satu pengawalnya sudah mengunci bilik penjara itu lagi. Diliriknya sang Dewi yang tetap diam saat menarik tangannya meninggalkan tempat itu. Mereka tiba di luar pakunjaran tanpa diketahui seorang penjaga pun karena mereka bergerak dalam lindungan aji panglimunan sang Dewi yang sakti tak tertembus.
Sang Dewi mengambil kembali selendangnya dan sekarang mereka menyusuri jalan yang sama saat masuk tadi.
"Kali.....Kali...." Suara seseorang menghentikan langkah mereka.
Dengan cepat sang Dewi berbalik. "Kita lewat sana saja." Prasasti hanya mengangguk tanda mengerti. Mereka berbelok ke kanan, memutar ke belakang dapur istana lalu mengambil lorong di antara lumbung makanan dan tiba di gapura belakang.
"Kau bisa pergi sendiri, Prasasti?"
Sejenak Prasasti menimbang. Melihat ke arah gapura yang dijaga dua prajurit. "Bagaimana dengan mereka?"
"Akan kuatasi. Pergilah. Ada hal lain yang harus kulakukan."
Sang Dewi melumpuhkan kedua penjaga itu tanpa suara dalam sekali gebrakan saja. Mereka tergeletak seketika dan Prasasti segera berlari keluar. Ia menoleh ke belakang dan melihat gurunya mengangguk, kemudian dia segera bergerak ke bawah lindungan bayangan pohon.
Dia berhenti di bawah pohon dekat kudanya yang tengah menunggu. Kuda coklat itu hanya berdiri termangu melihat tuannya datang dengan wajah lesu. Ia tak lagi memakan rerumputan, barangkali sudah kenyang namun mulutnya bergerak-gerak mencerna makanannya tadi. Prasasti menjatuhkan diri bersandar pada pohon tua. Sinar bulan jatuh menerobos dedaunan yang menaunginya.
Hatinya kecut. Dia merasa gagal. Setelah jauh-jauh pergi mengejar Purnala ke tempat ini dengan harapan dapat mencegahnya ditangkap pihak istana, justru Purnala sendirilah yang menghancurkan harapannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
أدب تاريخي"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...