Bab IV

5.4K 528 7
                                    

"Jadi apa kau punya petunjuk?" Prasasti bertanya.

Ranggadewa menggeleng. Gerakannya itu menggesek paha Prasasti membuat gadis itu menahan geli. Dia berbaring di pangkuan Prasasti sambil memainkan anak panah di tangan kanannya. Sementara Prasasti duduk berselonjor bersandar pada sebatang pohon besar di tepi hutan.

Prasasti adalah kekasih Ranggadewa. Gadis itulah yang berhasil membuat sang pangeran bertekuk lutut dan berhenti bermain-main dengan perempuan. Namun di mata orang lain Ranggadewa tetaplah sama, suka judi dan main perempuan. Hanya Darupalla yang tahu tuannya sudah bertobat. Sejak dia bertemu Prasasti, gadis lincah dan cantik jelita seperti Dewi Ratih istri Kamajaya.

Prasasti tak hanya jelita namun juga mandiri dan tidak manja. Dia gadis yang tegar. Ayahnya seorang brahmana dan ibunya telah meninggal sejak ia kecil. Ia tumbuh di pesanggrahan ayahnya dan pandai meramu obat. Ilmu itu dipelajari dari sang ayah dan juga para tetua di sana.

Namun kepandaiannya berburu dilatihnya secara diam-diam. Dia tak mau ayahnya tahu. Dia ingin ayahnya melihat dia sebagai gadis yang anggun dan bersahaja.

Keanggunannya membuat Ranggadewa tertawan saat melihatnya membawa bunga di halaman pesanggrahan. Ketika itu Ranggadewa dipaksa ikut pemujaan dan diam-diam merasa beruntung telah datang ke tempat itu.

Tempat itulah dimana ia menemukan sang dewi cinta sejatinya. Dewi dari kahyangan yang membuat ia berubah. Sayang sekali ayahnya tak tahu hal itu. Dia akan mengatakan itu pada ayahnya nanti. Setelah tugasnya selesai.

Tugas yang diberikan ayahnya cukup sulit. Menemukan pemilik panah yang melukai Jayantaka. Itu tidak mudah.

"Anak panah itu tidak istimewa. Biasa saja." Prasasti berkata sambil memperhatikan panah di tangan Ranggadewa.

"Hmm....iya." Ranggadewa setuju. Dia sudah berulang kali mengamati namun dia tak mendapat petunjuk apapun. Benar kata Prasasti. Itu hanya panah biasa. Dan itu membuat tugasnya menemukan pemiliknya jadi semakin sulit.

Ranggadewa merenung memandang ke atas. Ke wajah Prasasti. Lama ditatapnya wajah kekasihnya itu hingga Prasasti jadi jengah dibuatnya.

Prasasti membuang pandang ke mana saja. Dia kikuk jika ditatap seperti itu. Mata elang itu seperti hendak menelan jantungnya. Sial. Dia tak bisa bergerak. Kepala Ranggadewa terasa berat di pangkuannya.

Dia mencuri pandang ke bawah dan menemukan mata elang itu tak beralih dari wajahnya. 

"Apa?" sergahnya dibuat-buat galak. Pipinya merona.

"Kau sangat cantik." Ranggadewa tersenyum membuatnya makin tersipu. Jantungnya melompat-lompat tak beraturan.

"Aku mau pulang. Sudah sore."

Matahari memang sudah turun dari tadi namun sinarnya masih terang dan hangat. Burung-burung pun belum ada yang pulang ke sarang.

"Ayo kuantar." Ranggadewa bangkit dari pangkuan Prasasti. Langsung berdiri mengulurkan tangannya. Prasasti menyambutnya dan ikut berdiri namun dia menolak.

"Tidak usah. Aku mau singgah ke Lumpring dulu," Prasasti beralasan.

Lumpring adalah desa di tepi hutan tempat persinggahan para saudagar melepas lelah. Desa itu kecil dan hanya dihuni tak sampai tiga puluh rumah. Dan salah satunya adalah pondok kecil milik ayah Prasasti sebelum ia membangun pesanggrahan di Pasetran atas ijin sang raja.

"Kuantar sampai batas desa saja. Lalu aku terus pulang ke Purana."

Prasasti setuju dan mereka pun meninggalkan hutan. Sampai di batas desa Lumpring, Ranggadewa berpamitan lalu meninggalkan Prasasti menaiki kudanya menuju istana.

Prasasti kemudian berjalan memasuki desa. Dia menuju sebuah kedai yang masih buka. Dia masuk dan mengambil tempat duduk di tepi. Seorang gadis sebayanya datang menghampiri.

"Kukira kau tak datang, Sasti."

Prasasti tersenyum padanya. "Pasti datang. Kan aku sudah janji."

"Sebentar ya aku ambilkan dulu pesananmu. Minum dulu ini."

Gadis itu meletakkan kendi dan tempat minum dari bambu ke atas meja kemudian berlalu ke arah belakang kedai.

Prasasti mengangguk berterima kasih. Gadis itu anak pemilik kedai. Namanya Gayatri. Dia juga satu-satunya teman Prasasti di desa itu yang selalu membantunya mencari tanaman obat yang dibutuhkan Prasasti.

"Aku akan pergi karena aku bukan pengecut. Aku seorang ksatria." Seseorang bersuara di belakang Prasasti. Seorang pemuda dan temannya, sepertinya mereka seumuran dan terlihat seperti orang-orang dari kutaraja. Pakaian mereka bagus dan keduanya tampan seperti anak bangsawan.

"Itu terserah padamu." Pemuda yang satu lagi bersuara. 

Prasasti mengutuki dirinya yang baru saja jadi penguping. Ia tidak bermaksud begitu sebenarnya. Kebetulan saja dia mendengar pembicaraan mereka. Untunglah Gayatri datang. Dia membawa bakul kecil berisi daun-daunan dan satu batang kayu kecil berwarna coklat kemerahan.

Gayatri memberikannya pada Prasasti. "Apa ini cukup, Sasti?"

"Terimakasih. Ini cukup."

Gayatri tersenyum senang. Dicondongkannya tubuhnya ke depan. Berbisik sambil melirik pada kedua pengunjung kedai di belakang Prasasti. "Mereka sepertinya tertarik padamu."

Diikutinya pandangan Gayatri. Dan pandangannya bertemu dengan kedua pemuda itu. Keduanya memang memandang ke arahnya. Cepat-cepat Prasasti berpaling.

"Aku pulang dulu."

Ia pamit diikuti anggukan Gayatri. Lalu ia bergegas keluar menuju tempat kudanya ditambatkan. Dia menitipkan kudanya tadi pagi sebelum masuk hutan. Prasasti sudah melepaskan tali dari tambatan dan hendak menaiki kudanya ketika ada suara menyerunya.

"Tunggu."

Pemilik suara itu salah satu dari pemuda di dalam kedai tadi. Langkahnya agak tergesa seperti sengaja mengejar Prasasti keluar.

"Kau murid Resi Gaharu?"

Pertanyaan itu membuat kening Prasasti berkerut. Bagaimana orang itu bisa menebaknya?

"Aku melihatmu membawa kayu cendana. Jadi kupikir kau mungkin tinggal di pesanggrahan Resi Gaharu."

Tidak masuk akal. Rutuk Prasasti dalam hati. Tapi kenapa tebakannya bisa tepat? "Iya. Ada apa?"

Pemuda itu menghela napas lega. Lalu tersenyum. Senyum yang amat mempesona. Bahkan mengalahkan Ranggadewa.

"Bisakah kau menunjukkan jalan ke pesanggrahan? Aku ingin menemui Resi Gaharu."

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang